ECONOMICS

Kinerja Moncer TikTok di Tengah Potensi Larangan di AS dan Beberapa Negara

Maulina Ulfa - Riset 15/03/2024 15:17 WIB

Amerika Serikat (AS) dilaporkan bergerak selangkah lebih dekat untuk melarang media sosial TikTok di negara tersebut.

Kinerja Moncer TikTok di Tengah Potensi Larangan di AS dan Beberapa Negara. (Foto: Reuters)

IDXChannel - Amerika Serikat (AS) dilaporkan bergerak selangkah lebih dekat untuk melarang media sosial TikTok di negara tersebut.

Melansir Al Jazeera, keputusan pelarangan aplikasi sosial commerce ini setelah DPR AS pada hari Rabu (13/3/2024) mengeluarkan rancangan undang-undang yang menyerukan agar pengembang aplikasi asal China, ByteDance, melakukan divestasi atas TikTok atau dikeluarkan dari toko aplikasi AS.

Aturan ini disahkan tertuang dalam The Protecting Americans from Foreign Adversary Controlled Applications Act. Rancangan undang-undang (RUU) ini mendapat dukungan bipartisan yang luar biasa, menerima 352 suara mendukung, dan hanya 65 suara menentang.

Gedung Putih mendukung RUU tersebut, di mana Presiden Joe Biden mengatakan dia akan menandatanganinya jika rancangan undang-undang tersebut disetujui Kongres.

Namun, RUU tersebut akan mendapat pertentangan dari 170 juta pengguna TikTok di AS yang mewakili sekitar separuh populasi negara. Serta kelompok kebebasan sipil dan hak-hak digital yang mengatakan bahwa RUU tersebut akan melanggar kebebasan berpendapat.

Sementara itu, RUU tersebut masih menghadapi kendala, termasuk persetujuan Senat AS, majelis tinggi legislatif AS, yang langkah ke depannya masih jauh.

RUU ini akan menghadapi babak baru pengawasan dari para legislator dari kedua belah pihak dan potensi persaingan dari berbagai versi pelarangan.

Mengapa AS Ingin ByteDance Divestasi TikTok?

Pertarungan memperebutkan TikTok ini adalah pertarungan terbaru dalam persaingan AS-China dan upaya Washington untuk menggagalkan potensi kampanye pengaruh asing.

Banyak anggota DPR AS yang berpendapat bahwa aplikasi tersebut memungkinkan pemerintah China mengakses data pengguna dan memengaruhi masyarakat Amerika melalui algoritma adiktif dari platform media sosial yang sangat populer tersebut.

Dalam kasus TikTok, legislator AS khawatir bahwa ByteDance dapat dikontrol secara diam-diam oleh Partai Komunis China.

Meski perusahaan ini telah membantah tuduhan bahwa mereka membagikan data sensitif pengguna kepada pemerintah China.

“ByteDance tidak dimiliki atau dikendalikan oleh pemerintah China. Ini adalah perusahaan swasta,” kata CEO TikTok Shou Chew dalam kesaksiannya di depan Kongres pada awal Maret.

Namun regulator China memiliki sejarah menindak perusahaan teknologi dalam negeri. Beijing juga terkenal karena menyensor konten yang sensitif secara politik dan membatasi pengguna mengakses media sosial dan situs Barat dengan operasi yang dinamai “Great Firewall”.

Kinerja Moncer meski Dilarang di Beberapa Negara

Indonesia menjadi negara yang sempat melarang TikTok Shop, unit sosial-online shopping dari TikTok. Pemerintah RI resmi melarang praktik perdagangan secara online lewat platform ini pada pada Selasa (26/9/2023).

Aturan ini tertuang dalam revisi Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang dikeluarkan.

Kini, TikTok Shop telah dioperasikan bersama dengan startup e-commerce lokal, Tokopedia, yang sebelumnya dikendalikan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO).

Dalam proses merger, GOTO menjual saham Tokopedia kepada TikTok dengan nilai mencapai 75 persen yang rampung pada 31 Januari 2024. Dalam penjualan ini, Tokopedia dikabarkan akan mendapatkan dana segar hingga USD1,5 miliar dari TikTok.

Meski dilarang, TikTok tetap gencar melakukan ekspansi karena pangsa pasar Asia Tenggara yang menjanjikan.

Ini karena pada 2023 saja, volume nilai transaksi bruto atau gross merchandise volume (GMV) TikTok Shop di Asia Tenggara diperkirakan menembus USD15 miliar. Berdasarkan laporan Momentum Works, nilai tersebut melonjak 241 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar USD4,4 miliar.

Tak hanya Indonesia, banyak negara termasuk Afganistan, Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Belanda, Selandia Baru, Taiwan, Inggris, dan badan pemerintahan Uni Eropa semuanya telah melarang aplikasi ini dari ponsel pemerintah.

Meski banyak dilarang, hal ini tak menyurutkan popularitas TikTok di jagat maya. Melansir Statista, pada kuartal keempat tahun 2023, TikTok menghasilkan pendapatan sekitar USD707 juta dolar AS dari pengguna di seluruh dunia. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

Antara akhir 2021 dan awal 2022, pendapatan dalam aplikasi TikTok mengalami pertumbuhan yang mengejutkan. TikTok melaporkan pendapatan USD286 juta pada kuartal ketiga tahun 2020 menjadi lebih dari USD606 juta pada kuartal keempat tahun 2021, melompat lebih dari 50 persen hanya dalam setahun.

Ini menjadi bukti bahwa TikTok dengan cepat meningkatkan perolehan pendapatannya dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2023, TikTok menghasilkan pendapatan tahunan sebesar USD14,3 miliar.

Tak hanya itu, sejak diluncurkan pada tahun 2016, TikTok telah mencapai lebih dari USD4,1 miliar unduhan hingga saat ini. Selama 9 bulan pertama tahun 2023, TikTok telah diunduh sebanyak 769,9 juta kali. Pada kuartal ketiga tahun 2023, unduhan aplikasi di seluruh dunia mencapai 272,7 juta.

Kini, valuasi perusahaan induk TikTok, Bytedance, dilaporkan mencapai USD223,5 miliar pada 2023. (ADF)

SHARE