ECONOMICS

Kisah Miris Hiperinflasi Zimbabwe, Restoran Sampai Cetak ‘Uang’ Sendiri

Maulina Ulfa - Riset 24/03/2023 16:37 WIB

Kekacauan mata uang Zimbabwe dimulai pada awal 2000-an, ketika pemerintahan Presiden Robert Mugabe saat itu mencetak lebih banyak uang.

Kisah Miris Hiperinflasi Zimbabwe, Restoran Sampai Cetak ‘Uang’ Sendiri. (Foto: collectiblescurrency.com)

IDXChannel - Kisah unik terjadi di Zimbabwe. Seorang pelanggan bernama Rutendo Manyowa membayar USD5 untuk menu ayam, kentang goreng, dan soda seharga USD3,50 di restoran cepat saji di ibu kota Zimbabwe.

Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, Manyowa tak mendapat kembalian sebesar USD1,5. Ia justru memperoleh kertas bertuliskan ‘uang kupon’ yang berisi nilai kembalian yang ia dapat gunakan untuk membeli lagi makanan di restoran tersebut.

Kisah ini ditulis oleh Wall Street Journal (WSJ) (23/3/2023) yang menggambarkan kekacauan ekonomi yang terjadi pada salah satu negara di Afrika tersebut.

Zimbabwe telah mencapai tahap baru disfungsi moneter. Disebabkan kurangnya jumlah uang tunai beredar, para pelaku bisnis yang putus asa mulai mencetak ‘uang’ mereka sendiri berupa potongan kertas, terkadang tulisan tangan, yang dapat digunakan pelanggan untuk membayar pembelian lain di masa mendatang.

Tak hanya itu, uang kembalian sering digantikan oleh sekotak jus, pulpen, atau irisan keju. Ini menjadi kisah terbaru di Zimbabwe setelah dua dekade negara tersebut masuk ke jurang ‘salah urus ekstrim’ mata uang.

Disfungsi Mata Uang

Kekacauan mata uang Zimbabwe dimulai pada awal 2000-an, ketika pemerintahan Presiden Robert Mugabe saat itu mencetak lebih banyak uang sebagai upaya untuk kompensasi jatuhnya produksi pertanian, mengikuti upaya redistribusi tanah yang kontroversial.

Setelah inflasi bulanan mencapai puncaknya sebesar 79,6 miliar persen, pemerintah pada tahun 2009 akhirnya menghapus dolar Zimbabwe dan mulai menggunakan dolar AS sebagai alat tukar.

Peralihan itu membawa stabilitas moneter selama beberapa tahun, hingga Reserve Bank of Zimbabwe tidak dapat lagi memenuhi permintaan cash dolar AS. Ini menyebabkan uang yang disimpan di rekening bank tidak dapat ditarik secara tunai.

Hingga awal 2019, bank sentral negara tersebut memperkenalkan kembali dolar Zimbabwe dan mengubah tabungan berdenominasi dolar AS dan utang pemerintah dalam negeri menjadi mata uang lokal yang nilainya menurun secara drastis.

Menurut Warren Meares, kepala eksekutif Simbisa Brands, Chicken Inn dan beberapa rantai makanan cepat saji lokal lainnya, mata uang Zimbabwe yang tidak berfungsi telah memaksa bisnis untuk menjadi kreatif.

Devaluasi secara cepat dolar Zimbabwe ini telah membuat pengusaha restoran terlalu cepat mengganti dan mencetak ulang menu, sehingga mencetak uang sendiri menjadi pilihan alternatif.

Devaluasi sendiri berarti penyesuaian penurunan yang disengaja dari nilai uang suatu negara relatif terhadap mata uang lain, kelompok mata uang, atau standar mata uang.

Ekonom yang berbasis di Harare, Zimbabwe, Gift Mugano, mengatakan bahwa terlepas dari kelemahan kertas sebagai ‘mata uang kembalian’, sebagian besar warga lokal masih lebih memilih kertas kupon ini daripada mendapatkan uang kembalian dalam mata uang lokal Zimbabwe.

“Masyarakat tidak percaya pada pemerintah. Tapi sangat mempercayai sektor swasta. Jika saya diberi token di restoran cepat saji, saya tahu besok ketika saya kembali itu diterima.”kata Mugano kepada WSJ.

Hiperinflasi Tak Berkesudahan

Zimbabwe adalah negara Afrika yang memiliki tingkat inflasi ekstrim atau hiperinflasi.

Diketahui inflasi harga konsumen Zimbabwe turun menjadi 92,3% secara year on year (yoy) pada Februari 2023.

Angka ini sudah lebih ‘mending’ dibanding inflasi bulan sebelumnya yang mencapai 229,8% dan telah turun dari puncaknya selama 18 bulan pada Agustus sebesar 285%.

Inflasi tahunan berada dalam tren penurunan sejak September 2022, dan mencapai level terendah sejak Maret tahun lalu. Secara bulanan, harga konsumen turun 1,6%, penurunan pertama sejak Juni 2018, setelah naik 1,1% di bulan sebelumnya.

Guna mengontrol kondisi hiperinflasi ini, Reserve Bank of Zimbabwe memutuskan untuk memangkas suku bunga secara ekstrim pada 2 Februari sebesar 50 poin persentase menjadi 150% di tengah ekspektasi bahwa tren penurunan inflasi akan berlanjut.

Zimbabwe saat ini menggunakan sistem perhitungan campuran untuk inflasi di mana gubernur bank sentral Mangudya mengatakan inflasi campuran merupakan inflasi yang paling tepat bagi perekonomian Zimbabwe.

Mengingat, penggunaan valuta asing yang meningkat dalam transaksi domestik dan tingginya tingkat simpanan valuta asing dan pinjaman di sektor perbankan sekitar 65%.

Namun, dampaknya, nilai tukar terhadap dolar AS melemah tak terkendali dan menyebabkan krisis uang cash. Diketahui satu Zimbabwean Dollar (ZWD) setara dengan USD0,0027631943, sementara 1 USD sama dengan 361.900 ZWD.

Ketika Zimbabwe secara resmi menggunakan dolar pada tahun 2010-an, banyak bisnis sempat menggunakan rand Afrika Selatan, yang pada saat itu diperdagangkan sekitar 10 rand terhadap dolar, sebagai uang kembalian.

Sejak itu, mata uang negara tetangga juga berfluktuasi nilainya dan tidak lagi menjadikannya alternatif yang bagus. Kondisi ini rentan menyebabkan depresiasi mata uang.

Depresiasi mata uang adalah penurunan nilai mata uang dalam hal nilai tukar terhadap mata uang lainnya. Depresiasi mata uang dapat terjadi karena faktor-faktor seperti fundamental ekonomi, perbedaan suku bunga, ketidakstabilan politik, atau penghindaran risiko di kalangan investor.

Kartu bank juga tidak banyak digunakan secara luas, karena banyak warga Zimbabwe sekarang menarik gaji mereka dalam dolar AS begitu masuk ke rekening mereka.

“Orang-orang Zimbabwe punya nama yang menyenangkan untuk menggambarkan bank di sana. Mereka menyebutnya bank NMB atau National Mattress Bank (Bank Kasur Nasional),” imbuh Mugano yang menggambarkan hilangnya kepercayaan masyarakat Zimbabwe terhadap otoritas keuangan negara tersebut. (ADF)

SHARE