ECONOMICS

Lima Hal Ini Bikin Ekonomi China Makin Suram

Desi Angriani 10/10/2022 10:37 WIB

Pertumbuhan ekonomi China terus melambat seiring dengan kebijakan nol Covid yang mengakibatkan permintaan global ke negara tersebut turun.

Lima Hal Ini Bikin Ekonomi China Makin Suram (Foto: MNC Media)

IDXCHannel - Pertumbuhan ekonomi China terus melambat seiring dengan kebijakan nol Covid yang mengakibatkan permintaan global ke negara tersebut turun.

Adapun angka pertumbuhan ekonomi China untuk periode Juli hingga September berpeluang meningkatkan kemungkinan terjadinya resesi global. Saat ini pertumbuhan ekonomi negara tirai bambu itu belum mencapai target yang diharapkan yakni di angka 5%.

Sementara itu, mata uang China (Yuan) berada di tingkat terburuknya dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini membuat investor ragu dan memicu adanya ketidakpastian di pasar keuangan sehingga menyulitkan bank sentral untuk memompa uang ke dalam perekonomian.

Masalah ini terjadi bersamaan ketika elektabilitas Presiden Xi Jinping sedang memuncak. Ia diharapkan dapat mengamankan masa jabatan ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya di Kongres Partai Komunis (CPC).

Dilansir dari bbc.com pada Senin (10/10/2022), lima alasan di balik melemahnya pertumbuhan ekonomi China.

1. Kebijakan Nol Covid menimbulkan masalah

Wabah Covid di beberapa kota, termasuk pusat manufaktur seperti Shenzhen dan Tianjin, telah merusak aktivitas ekonomi di seluruh industri. Masyarakat yang tidak menghabiskan uang untuk hal-hal seperti makanan dan minuman, ritel atau pariwisata, membuat mayoritas pelayanan masyarakat berada di bawah tekanan.

Menurut Biro Statistik Nasional China, pada bulan September, aktivitas pabrik mulai mengalami peningkatan kembali dikarenakan pemerintah lebih banyak mengeluarkan dana untuk infrastruktur. Meskipun begitu, manufaktur tersebut tidak berkembang setelah dua bulan berjalan. Hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, khususnya sejak survei swasta menunjukkan bahwa aktivitas pabrik menurun pada bulan September.

2. Pemerintah belum maksimal dalam menangani perekonomian China

Pada bulan Agustus, Beijing telah mengumumkan 1 triliun yuan atau USD 203 miliar untuk meningkatkan usaha kecil, infrastruktur, dan real estate. Akan tetapi, para pejabat dapat melakukan lebih banyak hal untuk memicu pengeluaran dalam memenuhi target pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

"Respon yang diberikan pemerintah terhadap melemahnya perekonomian kali ini cukup sederhana jika dibandingkan dengan apa yang telah kita lihat selama krisis ekonomi sebelumnya," kata Louis Kuijs, Kepala ekonomi Asia di S&P Global Ratings.

3. Krisis Pasar properti di China

Aktivitas real estate yang melemah dan adanya sentimen negatif mengenai sektor perumahan tidak diragukan lagi telah memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Hal ini menimbulkan pengaruh yang besar terhadap perekonomian karena properti dan industri lain yang berkontribusi telah menyumbang hingga sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.

4. Perubahan iklim yang memperburuk keadaan

Cuaca ekstrim mulai berpengaruh terhadap perindustrian di China. Gelombang panas disertai kekeringan menyerang Provinsi Sichuan dan kota Chongqing pada bulan Agustus.

Ketika permintaan AC melonjak, hal tersebut itu membuat jaringan listrik di wilayah membengkak yang hampir seluruh pasokannya bergantung pada tenaga air.

Biro statistik China mengatakan, pada bulan Agustus, keuntungan di industri besi dan baja mengalami penurunan mencapai lebih dari 80% dalam tujuh bulan pertama tahun 2022 dibandingkan dengan periode sebelumnya.

5. Perusahaan Teknologi China mulai kehilangan Investor

Adanya regulasi yang tegas terhadap perusahaan teknologi di China yang berlangsung selama dua tahun tidak memberikan pengaruh apapun.

Tencent dan Alibaba melaporkan penurunan pendapatan pertama mereka pada kuartal terakhir, dimana tingkat keuntungan Tencent menurun 50%, sementara laba bersih Alibaba turun setengahnya.

"Beberapa keputusan investasi sedang ditunda, dan beberapa perusahaan asing berusaha untuk memperluas produksi di negara lain," menurut S&P Global Ratings dalam sebuah catatan baru-baru ini.

(DES/ Savira Agustin)

SHARE