Menakar Kinerja Pajak dan APBN RI 2022, buat Apa Saja Alokasinya?
Pemerintah RI gencar memaksimalkan pendapatan negara melalui optimalisasi wajib pajak.
IDXChannel - Media sosial riuh menyoal gaji Rp5 juta yang disebut kena pajak 5% baru-baru ini. Menanggapi hal ini, Kementerian Keuangan membantah klaim yang beredar luas di masyarakat itu.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan pajak untuk orang berpenghasilan Rp5 juta per bulan tak ada perubahan.
Seperti diketahui, pada tahun lalu, aturan yang mengatur pungutan Pajak Penghasilan (PPh) 21 mengalami penyesuaian seiring terbitnya Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Aturan ini diketahui mengganti UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Meski demikian, perubahan lapisan penghasilan kena pajak (PKP) per tahun dalam UU HPP tidak mengubah besaran pungutan pajak bagi orang pribadi dengan gaji hingga Rp 5 juta per bulan.
"Untuk gaji 5 juta tidak ada perubahan aturan pajak," ungkap Sri Mulyani dalam akun Instagramnya @smindrawati, Selasa (3/1/2023).
Seperti diketahui, lewat UU HPP, pemerintah mengubah lapisan penghasilan kena pajak (PKP) per tahun, dari sebelumnya empat lapisan, kini menjadi lima lapisan.
Heboh terkait pungutan pajak, lalu bagaimana sebenarnya capaian penerimaan pajak di Tanah Air?
Boleh dikatakan, penyumbang terbesar penerimaan negara adalah subjek pajak atau yang bisa disebut wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak orang pribadi.
Dalam Konferensi Pers Realisasi APBN 2022 pada Selasa lalu (03/01), Menkeu Sri Mulyani Imengatakan bahwa pendapatan negara APBN Tahun 2022 terealisasi Rp2.626,4 triliun atau 115,9% dari target berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 sebesar Rp2.266,2 triliun.
Menurut Menkeu, pealisasi ini tumbuh 30,6% sejalan dengan pemulihan ekonomi yang semakin kuat dan terjaga serta dorongan harga komoditas yang relatif masih tinggi. Lalu sebenarnya seberapa besar penghasilan pajak pendapatan di RI?
Rincian Penerimaan Pajak RI Sepanjang 2022
Pemerintah mencatat, dari total pendapatan negara sepanjang 2022, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp2.034,5 triliun atau 114% dari target Perpres 98/2022 sebesar Rp1.784 triliun.
Angka ini tumbuh 31,4% dari realisasi tahun 2021 sebesar Rp1.547,8 triliun. Realisasi penerimaan ini berasal dari penerimaan pajak dan kepabeanan dan cukai. Adapun realisasi pajak untuk pendapatan negara menyumbang Rp1.256 triliun. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sementara itu, menurut Kemenkeu, penerimaan kepabeanan dan cukai juga memperlihatkan kinerja yang luar biasa.
Setelah targetnya direvisi ke atas melalui Perpres 98/2022, kinerja penerimaan kepabeanan dan cukai masih tetap melampaui target dengan mengumpulkan Rp317,8 triliun atau 106,3% target, tumbuh 18%.
Tak hanya dari pajak, komponen pendapatan negara lain berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga bertumbuh konsusten.
Realisasi PNBP tahun 2022 menunjukkan Rp588,3 triliun atau 122,2% dari target Perpres 98/2022, tumbuh 28,3% dari tahun lalu yang juga sudah melonjak naik di level Rp458,5 triliun.
“Jadi kita lihat, memang kinerja penerimaan negara pajak, bea dan cukai, dan PNBP sungguh luar biasa dua tahun berturut-turut. Pada saat ekonomi pulih, kita juga memulihkan seluruh penerimaan negara. Pada saat komoditas boom, kita juga melakukan pengumpulan penerimaan negara dari kenaikan komoditas. Ini kita gunakan untuk melindungi rakyat dan ekonomi,” ungkap Menkeu.
Penerimaan PNBP ini didukung oleh penerimaan dari sektor Sumber Daya Alam (SDA), penerimaan dari kekayaan negara dipisahkan, dan dukungan dari Badan Layanan Umum (BLU).
Selanjutnya, penerimaan hibah diproyeksikan Rp579,9 miliar sesuai dengan hibah terencana pada Kementerian/Lembaga di antaranya untuk mendukung kegiatan pembangunan sistem pedesaan dan perkotaan, keanekaragaman hayati, serta penanganan stunting.
Meski demikian, pendapatan pajak menjadi kontributor terbesar penerimaan APBN tahun lalu.
Dari total pendapatan pajak, komponen pajak penghasilan menyumbang kas negara terbesar dengan nilai Rp680,9 triliun. Kedua ditempati oleh PPN/PPnBM mencapai Rp554,4 triliun. Adapun pajak bumi dan bangunan menyumbang kas negara Rp18,4 triliun, dan pajak lainnya menyumbang Rp11,4 triliun. (Lihat grafik di bawah ini.)
Kemenkeu juga mencatat, sebelum Pandemi, penerimaan perpajakan periode 2017–2019 tumbuh rata-rata sebesar 7,3% per tahun. Kondisi ini terutama dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi domestik dan kinerja perdagangan internasional.
Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 yang menyebabkan kontraksi baik di sisi perekonomian global maupun domestik. Hal ini berpengaruh pada menurunnya penerimaan perpajakan, khususnya penerimaan yang berkaitan dengan dunia usaha dan aktivitas perdagangan internasional.
Untuk mengatasi kontraksi ekonomi ini, pemerintah mengklaim secara aktif memberikan insentif kepada dunia usaha dalam merespon dampak Covid-19.
Pada tahun 2021, kerja keras pemerintah berdampak pada kinerja ekonomi yang berangsur pulih yang juga tecermin pada tren peningkatan perpajakan.
Untuk Apa Saja Uang Pajak Kita?
Sepanjang 2022, pemerintah telah mengalokasikan anggaran belanja negara untuk berbagai program nasional.
Penggunaan anggaran diharapkan mampu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang maksimal.
Berdasarkan catatan Kemenkeu, belanja negara pada tahun 2022 dialokasikan sebesar Rp2.714 triliun.
Adapun rinciannya, alokasi belanja dibagi ke dalam dua bagian yaitu belanja kementerian dan lembaga (K/L) sebesar Rp945.751,5 miliar atau 34,8% terhadap belanja negara.
Menyoal belanja anggaran Kementerian dan lembaga, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menempati posisi puncak dengan pagu terbesar mencapai Rp134,7 triliun. Di nomor dua ada Polri dengan anggaran mencapai Rp111 triliun.
Kementerian PUPR menempati posisi ketiga dengan nilai pagu mencapai Rp100,6 triliun. Adapun posisi empat dan lima terdapat Kemenkes dan Kemensos masing-masing menelan anggaran Rp96,9 triliun dan Rp78,3 triliun.
Kemendikbudristek berada di posisi ke enam dengan nilai Rp73 triliun, Kementerian Agama Rp66,5 triliun. Selanjutnnya Kemenkeu sebesar Rp44 triliun, Kemenhub Rp32,9 triliun dan Kemenkominfo Rp21,8 triliun.
Selanjutnya, belanja non-K/L sebesar Rp998.790,8 miliar atau 36,8% terhadap belanja negara. Serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp769.613,5 miliar.
Di tahun-tahun sebelumnya, sepanjang tahun 2017-2021 alokasi anggaran TKDD mengalami fluktuasi karena beberapa faktor. Antara lain dipengaruhi oleh perubahan pendapatan negara dan kebijakan pemerintah dalam merespons dampak pandemi Covid-19.
Dalam periode tahun 2017-2021, anggaran TKDD menunjukkan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,9%. Hal ini tercermin dari Rp741.992,4 miliar di tahun 2017 menjadi sebesar Rp770.272,1 miliar pada outlook tahun 2021.
Mengingat situasi pandemi Covid-19, anggaran kesehatan dan perlindungan sosial sempat menjadi prioritas pemerintah sepanjang 2020 hingga 2021.
Jika melihat komposisinya, anggaran terbesar pemerintah 2022 dialokasikan untuk kebutuhan transfer ke daerah dan kebutuhan dana desa. Dana Desa dan Dana Alokasi Khusus (DAK) diarahkan untuk mendukung program percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrim pada 212 kabupaten/kota prioritas. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sealin itu, menurut laporan Kemenkeu, transfer ke daerah juga berfokus pada pelaksanaan pengalokasian dan penggunaan Dana Otsus Papua sesuai UU No. 2/2021. Dengan besaran Dana Otsus Papua 2,25% dari Pagu Dana Alokasi Umum (DAU) nasional.
Sebuah ‘Plot Twist’: Anggaran Ketahanan Pangan
Hal yang paling menarik dari APBN 2022 adalah soal anggaran pembangunan di bidang ketahanan pangan. Program ini diarahkan untuk peningkatan keterjangkauan dan ketercukupan pangan, peningkatan produktivitas dan pendapatan petani serta nelayan, dan peningkatan diversifikasi pangan dan kualitas gizi.
Ketahanan pangan memang menjadi perhatian pemerintah setiap tahunnya, termasuk melalui dukungan APBN.
Kemenkeu menyebut, anggaran ketahanan pangan dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas komoditas pangan utama, baik pertanian maupun perikanan. Anggaran ketahanan pangan ini juga difokuskan untuk membangun infrastruktur pangan, benih, pupuk, pengairan/irigasi, pendampingan, dan stabilisasi harga.
Salah satu program strategis dari anggaran ketahanan pangan ini adalah Program Kawasan Sentra Produksi Pangan (food estate).
Proyek ini bahkan masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional. Sayangnya, kritik terus bermunculan semenjak wacana food estate menyeruak pada 2022 lalu. Nanyak pihak menduga program ini telah gagal terlaksana.
Menurut World Resources Institute (WRI), ada tiga alasan mengapa food estate bukanlah solusi tepat untuk mencapai ketahanan pangan.
Pertama, masalah utama di Indonesia adalah soal distribusi bukan ketersediaan dan food estate tidak menyelesaikan masalah tersebut.
Kedua, food estate tidak bisa menjadi solusi atas keterbatasan akses terhadap pangan yang sehat. Pasalnya, penyebab utama dari masalah ini adalah daya beli yang lemah.
Ketiga, intervensi bagi permasalahan pangan sebaiknya tidak dilakukan dengan cara-cara yang memiliki risiko lingkungan, ekonomi dan kesehatan.
Mengingat praktik food estate pada lahan gambut berpotensi mempertajam risiko lingkungan dan membahayakan kesehatan.
Di Kalimantan Tengah, pemerintah menyulap lahan seluas 165.000 hektare menjadi lahan pertanian yang ditanami padi dan singkong. Lahan ini bahkan terdiri dari hutan lindung dan lahan gambut.
Sayangnya, 2 tahun sejak proyek ini dimulai pada 2020, kondisi proyek food estate sekarang justru tampak menyedihkan.
Kegagalan ini terlihat salah satunya di daerah Gunung Mas, di mana 600 hektare hutan hujan telah dibabat habis untuk ditanami singkong.
Berdasarkan temuan Greenpeace Indonesia, hamparan lahan tersebut terbengkalai serta tanaman singkong yang jauh dari kata subur.
Sebelumnya, pemerintah juga sempat mengalami kegagalan program serupa.
Sejumlah contoh kegagalan food estate di antaranya era Soeharto, yakni Program Food Estate PLG, Kalteng (1996).
Di era SBY, juga terdapat Program Food Estate Bulungan, Kalimantan Timur (2011), Program Merauke Integrated Food and Energy Estate, Papua (2011), dan Program Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat (2013).
Oleh karena itu, mengapa terus memaksakan program yang gagal dalam anggaran belanja APBN? (ADF)