Mengenal Predatory Pricing yang Marak Dikaitkan dengan E-Commerce
Industri tekstil di wilayah Jawa Barat terancam terancam berhenti produksi karena maraknya praktik predatory pricing di social commerce seperti TikTok Shop.
IDXChannel - Industri tekstil di wilayah Jawa Barat terancam terancam berhenti produksi karena maraknya praktik predatory pricing di social commerce seperti TikTok Shop.
Melansir Okezone.com, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyatakan, praktik predatory pricing tersebut secara nyata mulai dirasakan khususnya oleh para pelaku usaha tekstil yang mengalami turunnya permintaan.
Sehingga menekan omzet bahkan lebih lanjut berdampak pada penurunan produksi dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pegawai UMKM.
"Ada penurunan yang cukup drastis karena pelaku UMKM yang memproduksi pakaian muslim, kerudung, pakaian jadi yang dijual di pasar grosir seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir terpantau anjlok. Akibatnya permintaan terhadap pakaian, kain, dan tekstil menurun drastis," ucap Menteri Teten dalam keterangan resminya dikutip Senin (25/9/2023).
Menteri Teten menyebut produk mereka kalah bersaing bukan karena kualitas, tetapi soal harga yang tidak masuk Harga Pokok Penjualan (HPP) pelaku UKM/IKM tekstil yang tidak mampu bersaing.
"Saya mendapat informasi ada indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali. Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," katanya.
Mengenal Predatory pricing
Melansir Investopedia, predatory pricing atau penetapan harga predator adalah praktik bisnis ilegal yang menetapkan harga suatu produk terlalu rendah untuk menghilangkan persaingan.
Penetapan harga predator di beberapa negara merupakan bentuk melanggar undang-undang anti-monopoli karena tujuannya adalah menciptakan monopoli. Namun, praktik ini mungkin sulit untuk dituntut.
Para tergugat mungkin berargumentasi bahwa menurunkan harga adalah praktik bisnis yang normal dalam pasar yang kompetitif dan bukan upaya yang disengaja untuk melemahkan pasar.
Penetapan harga predator tidak selalu berhasil, karena predator kehilangan pendapatan dan juga persaingan. Predator pada akhirnya harus menaikkan harga sehingga mendorong pesaing baru akan bermunculan.
Di Indonesia, predatory pricing dalam perspektif hukum persaingan usaha diatur dalam Pasal 20 UU No.5 Tahun 1999 yang mengatur pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah.
Hal ini dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Namun, menyebut praktik predatory pricing untuk TikTok masih memerlukan penelusuran lebih lanjut. Sejak awal kemunculan e-commerce, banyak platform yang terindikasi melakukan predatory pricing. Namun, hal tersebut dianggap masih belum terbukti.
Sebagai informasi, mengutip data Statista, jumlah pengguna pasar e-commerce di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat antara 2023 hingga 2027 dengan total 48,2 juta pengguna atau akan meningkat 24,53 persen.
Pengguna platform belanja online RI diperkirakan mencapai 244,67 juta pengguna dan mencapai puncak baru pada 2027. (Lihat grafik di bawah ini.)
Mengutip temuan KPPU, sejumlah layanan e-commerce platform yang terindikasi melakukan praktik menetapkan harga yang termasuk dalam kategori jual rugi masih belum sepenuhnya terbukti.
Menurut KPPU, jika merujuk pelaksanaan kegiatan usaha dari layanan e-commerce platform, dugaan mengenai terjadinya praktik predatory pricing dan praktik penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha layanan tersebut tidaklah terbukti.
Hal ini dikarenakan di layanan e-commerce platform memiliki karakteristik pasar open market dengan kriteria B2C.
Beragam layanan e-commerce platform ini memiliki kesempatan yang sama dalam mengembangkan layanan e-commerce platform sesuai dengan market power yang dimiliki.
Kondisi ini didorong adanya transformasi transaksi perdagangan digital melalui layanan e-commerce. Terutama semenjak pandemi Covid-19, telah membawa perubahan terhadap persaingan usaha di Indonesia. (ADF)