ECONOMICS

Menguak Alasan IMF Cawe-Cawe Kebijakan Hilirisasi Tambang RI

Maulina Ulfa - Riset 07/07/2023 07:30 WIB

Hubungan Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF) tampaknya tengah menegang.

Menguak Alasan IMF Cawe-Cawe Kebijakan Hilirisasi Tambang RI. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Hubungan Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF) tampaknya tengah menegang.

Hal ini seiring pernyataan dokumen berjudul IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia yang dirilis pada minggu lalu.

Dalam laporan tersebut, IMF meminta pemerintah mempertimbangkan penghapusan bertahap kebijakan hilirisasi mineral tambang kritis untuk meningkatkan nilai tambah produksi.

Dalam laporan tersebut, IMF menyambut baik ambisi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah dalam ekspor dan strategi diversifikasi Indonesia yang berfokus pada kegiatan hilir dari komoditas mentahnya, seperti nikel.

IMF juga menyadari pentingnya menarik investasi asing langsung, dan memfasilitasi alih keterampilan dan teknologi. Namun, IMF menilai kebijakan hilirisasi perlu mempertimbangkan masalah analisa biaya dan manfaat.

“Dalam konteks itu, Direksi mengimbau untuk mempertimbangkan penghapusan pembatasan ekspor (komoditas tambang penting) secara bertahap dan tidak memperluas pembatasan pada komoditas lain,” kata laporan itu.

IMF mengingatkan kebijakan hilirisasi akan menimbulkan rambatan negatif bagi negara lain.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) hingga para menteri, menegaskan akan mendorong hilirisasi sejumlah komoditas sumber daya alam (SDA) andalan Tanah Air. Sejumlah komoditas tersebut, di antaranya nikel, bauksit, tembaga, timah, hingga emas.

Meski demikian, IMF sepakat bahwa transisi perlu dikelola dengan hati-hati dan pentingnya mobilisasi pembiayaan swasta.

Pemerintah secara tergas tidak akan mengikuti saran IMF. Dengan tegas hal ini disampaikan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers, Jumat (30/6/2023).

"IMF mengatakan negara kita rugi, ini di luar nalar berpikir sehat saya. Dari mana Indonesia rugi? Dengan kita hilirisasi penciptaan nilai tambah tinggi di negara kita," tegas Bahlil.

Lantas, apa motif sebenarnya IMF getol menolak upaya hilirisasi tambang pemerintah RI?

Jejak Cengkraman Utang Jumbo IMF

IMF dan Indonesia memiliki sejarah hubungan yang panjang. IMF merupakan salah satu lembaga internasional yang menyediakan pendanaan untuk misi mempromosikan pertumbuhan ekonomi global dan stabilitas keuangan, mendorong perdagangan internasional, dan mengurangi kemiskinan.

Pemerintah Indonesia sempat terpaksa meminta bantuan kepada IMF saat dilanda krisis finansial 1998. Beruntungnya, semua utang tersebut telah terbayar lunas pada Oktober 2006.

Momen ikonik Direktur IMF Michael Camdesus melipat tangan di hadapan Presiden Soeharto yang sedang menandatangani beberapa lembar dokumen letter of intent (LoI) diartikan sejuta makna oleh khalayak.

Indonesia dianggap tunduk terhadap LoI yang berisi resep ekonomi dari IMF untuk memulihkan situasi nasional yang memburuk sejak Agustus 1997.

Selama periode krisis ekonomi 1998, IMF menyetujui pinjaman untuk Indonesia sebesar 17,36 miliar Special Drawing Rights (SDR), atau setara USD23,53 miliar atau sekitar Rp130 triliun. (Lihat grafik di bawah ini.)

Namun, Indonesia hanya menerima pencairan sebesar 11,1 miliar SDR atau setara USD14,99 miliar dan ekuivalen dengan Rp 93,5 triliun.

Pada 5 November 1997, IMF akhirnya menyetujui pinjaman dalam bentuk stanby arrangements (SBA) senilai 8,34 miliar SDR, namun hanya 3,67 miliar SDR yang dicairkan.

Kemudian IMF kembali menyetujui pinjaman dalam bentuk extended fund facility (EFF) senilai 5,38 miliar SDR pada 25 Agustus 1998, namun lagi-lagi yang dicairkan hanya 3,8 miliar SDR.

Pinjaman ini berlanjut pada 4 Februai 2000, dengan jumlah yang disetujui mencapai 3,64 miliar SDR dan semua dicairkan.

Pinjaman IMF tersebut tidak dicairkan secara langsung. Namun prosesnya dilakukan secara bertahap mulai 1997 hingga 2003.

Saat ini, Indonesia memiliki SDR dari IMF mencapai USD5,57 miliar dengan kuota USD 4,65 miliar. (Lihat tabel di bawah ini.)

 

Menghadapi era ketidakpastian global saat ini, banyak negara yang telah antri menjadi pasien IMF. Di akhir Oktober tahun lalu, tercatat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut ada 28 negara yang tengah antre untuk mendapatkan bantuan dari IMF.

Dalam kondisi saat ini, IMF juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi RI sedikit melambat menjadi 5 persen pada 2023.

Kondisi ini disebut akibat pengaturan kebijakan yang lebih ketat dan normalisasi harga komoditas.

Inflasi, yang telah mencapai puncaknya pada 6 persen tahun lalu, diperkirakan akan kembali ke kisaran target Bank Indonesia (3±1 persen) pada paruh kedua tahun ini.

Neraca transaksi berjalan RI juga diproteksikan mencapai 1,0 persen dari PDB pada 2022, didukung oleh tingginya harga komoditas, namun diproyeksikan akan berubah menjadi defisit kecil pada 2023.

Risiko yang dihadapi Indonesia secara umum digambarkan seimbang dalam jangka pendek, tetapi lingkungan ekonomi global yang sangat tidak pasti disebut terus mengaburkan prospek tersebut.

Menguak Alasan IMF 'Ganggu' Hilirisasi RI

Cawe-cawe IMF dalam kebijakan pengehentian ekspor hasil tambang ini menambah daftar panjang upaya pihak lain dalam menjegal upaya hilirisasi pemerintah.

Sebelumnya, Indonesia juga harus berhadapan dengan Uni Eropa di WTO terkait larangan ekspor nikel yang telah berjalan.

Kini, dunia akhirnya mulai melirik pentingnya mineral kritis hasil tambang yang mencakup litium, kobalt, tembaga, timah, nikel, bijih besi, hingga seng.

Kabar baiknya, semua komoditas kritis ini dimiliki oleh Indonesia. Indonesia memiliki potensi tambang mineral jumbo. Mengutip data Kementerian ESDM, lima komoditas tambang utama di Indonesia memiliki cadangan di atas 2 miliar ton.

Pantas jika langkah hilirisasi mineral kritis Indonesia ini cukup mengkhawatirkan pasar global.

Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Posisi cadangan nikel Indonesia setara dengan Australia sebesar 22 persen dari total cadangan dunia. Di masa depan, nikel RI diyakini berperan penting dalam penyediaan bahan baku untuk memenuhi kebutuhan nikel dunia. (Lihat grafik di bawah ini.)

Berdasarkan laporan IEA, hasil tambang mineral kritis memiliki peran penting untuk di manfaatkan ke dalam berbagai kebutuhan.

Salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan transisi energi untuk mencapai target netral karbon pada 2050.

Teknologi energi bersih dengan cepat menjadi tujuan utama dan agenda bisnis dalam beberapa tahun terakhir.

Sementara meningkatnya permintaan mineral kritis juga mendorong kebutuhan pada industri.

Kondisi ini bisa menyebabkan pergerakan harga yang tidak stabil, hambatan rantai pasokan, dan kekhawatiran geopolitik yang telah menjadi perpaduan risiko yang kuat di sektor tambang mineral kritis.

Sebagai gambaran, untuk mendukung transisi energi, mineral kritis ini menjadi komponen penting dalam banyak teknologi energi bersih yang berkembang pesat saat ini, mulai dari turbin angin dan jaringan listrik hingga kendaraan listrik (EV). (Lihat tabel di bawah ini.)

Permintaan akan mineral ini diproyeksi juga akan terus tumbuh dengan cepat seiring dengan peningkatan penggunaan kendaraan listrik.

Berdasarkan data IEA, penjualan mobil listrik di seluruh dunia naik 40 persen pada tahun 2020 menjadi sekitar 3 juta. Secara keseluruhan, lebih dari 10 juta mobil listrik kini beredar di seluruh dunia.

Permintaan mineral keseluruhan untuk produksi kendaraan listrik juga diproyeksikan tumbuh hampir 30 kali lipat antara tahun 2020 dan 2040. Utamanya permintaan litium dan nikel yang tumbuh sekitar 40 kali lipat. (Lihat grafik di bawah ini.)

Menghadapi tantangan meningkatnya kebutuhan mineral kritis ini, banyak perusahaan yang kini juga mulai mengamankan pasokan.

Sebagai contoh, sebut saja tentang investasi General Motors Company ke Lithium Americas Corp. pada Februari lalu. Tujuannya antara lain adalah memegang aset Thacker Pass.

Thacker Pass adalah sumber litium potensial terbesar yang diketahui di Amerika Serikat (AS).

Atau, Mercedes-Benz Group AG tidak akan membagikan lithium yang didapat dari Rock Tech Lithium Inc. yang berbasis di barat laut Thunder Bay, Ontario.

Investasi ini untuk membantu memastikan rantai pasokan litium vertical milik pabrik Merci tetap terjaga. Merci juga disebut mengharapkan investasi lain ke dalam mineral penting lainnya.

Ini menjadi gambaran bagaimana kebutuhan mineral kritis begitu sangat kritis hari ini.

Berdasarkan hasil riset EY, kondisi ini menimbulkan tantangan yang signifikan bagi sektor pertambangan dan logam dalam hal ketersediaan sumber daya, akses ke modal, dan rantai pasokan yang efisien.

Transisi energi akan menjadi mahal, dan industri pertambangan dan logam perlu menginvestasikan sebesar USD1,7 triliun selama 15 tahun ke depan untuk mendapatkan cukup pasokan tembaga, kobalt, nikel, dan logam penting lainnya.

Namun demikian, kemungkinan akan ada kesenjangan antara penawaran dan permintaan, dan penambang mineral kritis ini untuk mendukung permintaan yang diharapkan.

Menurut EY, dalam memenuhi permintaan global, produksi litium harus empat kali lipat dari 490kt pada 2021 menjadi 2mt pada 2030.

Dengan tidak adanya pengembangan tambang lebih lanjut, defisit pasar litium diproyeksikan mencapai 700kt pada tahun 2030.

Demikian pula, pasar tembaga diperkirakan akan mengalami defisit hampir 4,7mt pada tahun 2030 berdasarkan proyeksi pasokan saat ini.

Di samping itu, diperkirakan diperlukan investasi hampir USD100 miliar untuk menjembatani kesenjangan pasokan tembaga sebesar 4,7 juta ton pada tahun 2030.

Sementara diperlukan investasi hampir USD21 miliar untuk membiayai saluran pipa kapasitas produksi litium hingga 2025.

Investasi modal yang signifikan dan timeline yang panjang menunjukkan bahwa perusahaan pertambangan perlu mengambil keputusan berani untuk pengembangan tambang mineral penting.

Ini menunjukkan posisi Indonesia sangat kuat sebagai negara yang memiliki cadangan jumbo berbagai mineral kritis.

Meski demikian, protes terhadap kebijakan pemerintah Indonesia ini diperkirakan tidak akan berhenti pada IMF saja. Akan banyak gugatan-gugatan yang datang ke depan.

Tantangan lainnya, proyek hilirisasi ini perlu dipastikan dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat secara luas dan tidak menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. (ADF)

SHARE