Menilik Dampak Kelangkaan BBM pada Sektor Pertanian
PT Pertamina (Persero) mengklaim sudah mendapatkan jaminan dari pemerintah guna mengawal ketersediaan BBM baik subsidi maupun nonsubsidi di masyarakat.
IDXChannel - KOntroversi dan pro-kontra terkait kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebenarnya bukan merupakan hal baru yang terjadi di negeri ini. Sejak masa pemerintahan Soeharto hingga Joko Widodo sekarang ini, harga BBM terus merangkak naik. Hanya Presiden B.J Habibie saja yang tidak pernah menaikkan harga BBM dalam masa kepemimpinannya. Justru, Presiden Habibie diketahui menurunkan harga BBM sebesar Rp200, dari semula Rp1.200 per liter menjadi Rp1.000 per liter.
Gejolak harga minyak dunia diketahui terjadi pada 1998. Saat itu, Indonesia mulai memasuki era Reformasi, sekaligus mengalami krisis moneter. Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan bertajuk “Pengaruh Perubahan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Terhadap Tingkat Inflasi Indonesia”, disebutkan bahwa kritisnya harga minyak berimbas pada kesulitan pemerintah Indonesia dalam memenuhi anggaran pembangunan. Pemerintah harus memberikan subsidi BBM bagi masyarakat dalam negeri. Hal itu sengaja dilakukan agar masyarakat tidak merasa terberatkan.
Saat ini, beberapa wilayah di Indonesia mengalami kelangkaan BBM. Jenis BBM yang mulai hilang di pasaran meliputi Solar dan juga Pertalite. Hal ini tentu saja dikeluhkan oleh sejumlah masyarakat. Tak terkecuali oleh para petani. Mungkin banyak orang mengira kelangkaan ini hanya dialami oleh sebagian besar supir truk, padahal yang terjadi sebenarnya, para petani juga terkena imbas dari kelangkaan ini.
Dekan Sekolah Vokasi IPB University sekaligus pengamat pertanian, Arief Daryanto saat dihubungi MNC Portal Indonesia, bercerita, saat dirinya pergi ke Jawa Timur, ia merasakan kelangkaan BBM bersubsidi jenis Solar. Dia pun menyebut, saat datang ke pom bensin, antrean mengular yang tak wajar.
Arief mengemukakan, sekarang ini aktivitas perekonomian masyarakat sudah mulai meningkat karena adanya pelanggoran PPKM, di mana hal itu juga mendorong aktivitas perekonomian masyarakat.
Menurutnya, di sini perhitungan alokasi BBM jenis solar untuk berbagai daerah dan juga untuk berbagai keperluan perlu direvisi. Selain itu, kata dia, perlu juga adanya relaksasi distribusi solar bersubsidi di seluruh Indonesia.
Menjawab pertanyaan di awal, bagaimana dampaknya pada sektor pertanian? Pengamat Pertanian dari IPB itu terus terang bahwa BBM solar bersubsidi sangat penting untuk pertanian. Sehingga jika terjadi kelangkaan maka akan berimbas pada produktvitas petani.
Misalnya, di kegiatan produksi, penanganan dan penyimpanan pasca panen, pengolahan, lalu kemudian juga distribusi logistik, semua proses itu membutuhkan bahan bakar solar.
Sebagai contoh di sektor produksi, saat ini para petani banyak yang menunggu panen. Kemudian banyak sawah yang sekarang ini diakhiri dari pompa air. Jika solarnya sulit didapatkan maka pengairan akan terhambat. Lalu, jika pengairan terhambat maka akan terjadi food loss.
Lanjut dipaparkan Arief, contoh lain juga saat pasca panen. Misalnya petani nanam jagung ataupun padi, seringkali petani membutuhkan alat pengering supaya kadar laktosanya itu rendah. Karena jika kadar laktosanya tinggi, maka komoditas yang dihasilkan jadi tidak sehat. Maka dari itu, jika tidak ada solar, alat pengering tidak bisa berfungsi dengan sangat baik.
Kemudian setelah panen, proses selanjutnya adalah pengantaran dari tempat produksi ke gudang penyimpanan. Proses ini membutuhkan jasa logistik. Jika pada proses pengiriman logistik itu terganggu karena alasan sulit mendapatkan solar, maka akan berdampak pada konsumen. Di mana konsumen harus menanggung beban biaya pengangkutan yang lebih tinggi sehingga harga komoditas yang dijual di pasar menjadi lebih mahal.
Jadi ini justru malah menambah volatiliti harga pertanian yang sekarang ini minyak goreng sudah meningkat lalu kemudian BBM meningkat, ditambah lagi komoditas pertanian meningkat. Dari semua ini yang dirugikan adalah masyarakat luas, karena daya belinya menjadi rendah. Logikanya, saat harga beli meningkat tapi tidak diimbangi dengan kemampuan ekonomi maka daya belinya jadi menurun.
Lebih lanjut, menurutnya, kelangkaan BBM bersubsidi ini perlu check and recheck. Karena diduga ada penyelewengan dari sektor industri. Misalnya, industri kelapa sawit dan pertambangan membeli solar yang bersubsidi itu.
Jika dilihat, pangsa pasar BBM subsidi sebanyak 93 persen, 7 persen sisanya adalah BBM nonsubsidi yang dijual dengan harga keekonomian. Karena berdasarkan data yang ada, penjualan BBM nonsubsidi menurun, sementara penjualan BBM subsidi meningkat.
Menteri Energi dan Sumberdaya Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) ini terjadi karena adanya lonjakan permintaan secara mendadak. Hal ini mengakibatkan antrean di SPBU. Selain itu, juga dipengaruhi oleh perekonomian di masing masing daerah yang mengalami peningkatan. Akhirnya, kebutuhan akan permintaan BBM menjadi meningkat.
Menurut Arifin pula, kelangkaan minyak terjadi karena ada persoalan di Rusia dan Ukraina, yang kemudian membuat harga minyak ini tinggi. Meskipun mengalami kelangkaan, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan, masyarakat tidak perlu panik. PT Pertamina (Persero) mengklaim sudah mendapatkan jaminan dari pemerintah guna mengawal ketersediaan BBM baik subsidi maupun nonsubsidi di masyarakat.
Kondisi serupa juga diutarakan oleh Menteri BUMN, Erick Thohir. Erick mengatakan, BBM jenis Pertalite ini mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Maka dari itu, masyarakat diimbau untuk tidak khawatir. Hal ini karena sumber BBM (bahan bakar minyak) dalam negeri diyakini dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. (TSA)