ECONOMICS

Nasib Inggris, Suram Hadapi Inflasi 2023, Rugi £100 Miliar per Tahun

Maulina Ulfa - Riset 06/02/2023 16:50 WIB

Keputusan Brexit telah merugikan ekonomi Inggris £100 miliar per tahun, setara USD124 miliar.

Nasib Inggris, Suram Hadapi Inflasi 2023, Rugi £100 Miliar per Tahun. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Inggris bisa jadi merupakan satu-satunya negara ekonomi maju yang terjebak dalam jurang resesi pada 2023 ini.

Pasalnya, laporan Bloomberg Economics melaporkan guncangan ekonomi negeri monarki itu telah memasuki tahun ketiga ditandai lemahnya investasi bisnis hingga kekurangan tenaga kerja yang cukup parah.

Kondisi ini menurut Bloomberg Economics dipicu salah satunya akibat dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa pada 2016 atau yang dikenal sebagai Brexit.

Sebuah analisis oleh Bloomberg Economics tiga tahun lalu juga sempat menggambarkan potensi kerugian yang diakibatkan oleh keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan perpecahan yang terjadi di tubuh pemerintah yang dipimpin partai Konservatif.

Mengacu penelitian terbaru Bloomberg Economics, keputusan Brexit ini telah merugikan ekonomi negara tersebut sebanyak £100 miliar per tahun.

Angka ini setara USD124 miliar dengan efek yang cukup beragam. Di mulai dari investasi bisnis yang mandeg hingga kemampuan perusahaan untuk membuka lapangan kerja.

Ekonom Bloomberg Ana Andrade dan Dan Hanson memperhitungkan ekonomi Inggris 4% lebih kecil dari yang seharusnya, dengan investasi bisnis tertinggal secara signifikan dan kekurangan pekerja yang terus melebar.

“Apakah Inggris melakukan tindakan merugikan diri sendiri secara ekonomi ketika memilih untuk meninggalkan Uni Eropa pada tahun 2016? Bukti sejauh ini masih menunjukkan hal itu,” tulis Andrade dan Hanson dalam sebuah catatan yang diterbitkan Selasa (31/1).

Kedua ekonom itu menegaskan bahwa keluar dari sistem single market Uni Eropa berdampak buruk lebih cepat daripada yang diprediksi oleh para ahli.

Temuan ini kontradiktif dengan pernyataan Perdana Menteri Rishi Sunak bahwa Brexit adalah “peluang besar” bagi Inggris yang mulai terwujud.

Ia sempat menyebut, memutuskan hubungan dengan Uni Eropa memungkinkan Inggris untuk lebih bebas dalam memacu perdagangan dan mereformasi aturan jasa keuangan untuk kepentingan bank di negara itu.

“Kami telah membuat langkah besar dalam memanfaatkan kebebasan yang dibuka oleh Brexit untuk mengatasi tantangan generasi,” kata Sunak dikutip Bloomberg, Senin (30/1).

Studi Bloomberg menyatakan output yang hilang akibat Brexit tidaklah mudah. Hal ini karena keluarnya Inggris dari Uni Eropa bertepatan dengan guncangan yang disebabkan oleh pandemi virus corona.

Tertinggal dari ‘Rekan Sejawat’

Sebelumnya, mengutip Financial Times, Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan Inggris menjadi satu-satunya ekonomi G7 yang akan menghadapi jurang resesi tahun ini. (Lihat grafik di bawah ini.)

IMF memprediksi bahwa pengeluaran rumah tangga Inggris akan goyah di bawah tekanan harga energi yang tinggi, kenaikan biaya hipotek dan kenaikan pajak.

Prediksi IMF bahwa output ekonomi Inggris 2023 akan berkontraksi sebesar 0,5%. Ini merupakan penurunan dari perkiraan pertumbuhan Oktober sebesar 0,2% untuk tahun ini.

Pada November, BoE memperkirakan bahwa produk domestik bruto (PDB) Inggris akan turun 1,9% pada kuartal keempat tahun 2022.

Sementara itu, menurut lembaga pemeringkatan Moody, prospek ekonomi Inggris telah diturunkan dari "stabil" menjadi "negatif" karena ketidakstabilan politik dan inflasi yang tinggi.

Sebelumnya, laporan inflasi Inggris pada September 2022 tercatat sebesar 10,1% secara tahunan (yoy), naik dari bulan sebelumnya sebesar 9,9% yoy.

Pada November, tingkat inflasi tahunan di Inggris naik 10,7% namun kemudian turun menjadi 10,5% di akhir tahun 2022. Meski demikian, angka inflasi ini masih terbilang cukup tinggi.

Sementara itu, inflasi zona Eropa telah melandai di awal tahun ini. Inflasi di zona euro turun untuk bulan ketiga berturut-turut di bulan Januari didukung oleh penurunan biaya energi yang signifikan.

Inflasi utama di zona euro mencapai 8,5% pada Januari, sementara pada Desember 2022, angka inflasi tercatat sebesar 9,2%.

Namun, menurut analisis Bloomberg jelas bahwa kinerja ekonomi Inggris mulai menyimpang dari anggota G7 lainnya.

Kinerja yang buruk sebagian disebabkan oleh investasi bisnis karena perusahaan menunda keputusan pengeluaran akibat ketidakpastian ekonomi di benua Eropa secara keseluruhan.

Menurut Bloomberg Economics, investasi bisnis Inggris tertinggal sekitar 9% dari PDB dibanding rata-rata negara G7 sebesar 13%.

Selain itu, ekonom Hanson dan Andrade memperkirakan bahwa jumlah pekerja di Inggris menyusut drastik dan justru membebani negara tersebut.

“Kelangkaan tenaga kerja menambah tekanan inflasi dalam jangka pendek dan membatasi potensi pertumbuhan lebih jauh. Ini bukan kabar baik bagi perekonomian yang menghadapi prospek jangka panjang yang suram, dengan tren pertumbuhan sedikit di atas 1%,” ujar Hanson dan Andrade. (ADF)

SHARE