Niatnya Mau Sikat Spekulan, China Malah Dihantam Krisis Properti
China tengah dilanda krisis properti akibat kebijakan tiga garis merah yang diterapkannya pada sektor penyumbang PDB tersebut.
IDXChannel - Sektor properti menjadi penyumbang hingga 30% produk domestik bruto (PDB) China. Ini karena tingginya kebutuhan rumah di Negeri Tirai Bambu akibat urbanisasi (perpindahan dari desa ke kota) yang dilakukan.
Tingginya permintaan properti akhirnya memantik munculnya spekulan di sektor tersebut. Harga properti melonjak tinggi hingga menjadi sektor penyumbang terbesar PDB di China.
Profesor Ekonomi di LSE (The London School of Economics), Keyu Jin mengatakan, masalah lain datang dari ekonomi daerah. Banyak pemerintah daerah yang menjual tanahnya untuk meningkatkan pendapatan, serta menggunakan tanah sebagai jaminan untuk meminjam uang secara besar-besaran.
"Properti sering menjadi katalis untuk pembangunan, ketika seorang pengembang membangun perumahan, juga membawa investasi infrastruktur, ritel, layanan, dan pekerjaan," kata Keyu Jin dikutip dari The Guardian, Kamis (6/10/2022).
Kyu Jin menjelaskan mengapa dalam dekade terakhir, semangat pemerintah daerah dengan cepat beralih dari industrialisasi ke urbanisasi besar-besaran. Karena hal tersebut cara tercepat untuk mendorong PDB lokal, sehingga telah memberikan kebebasan kepada pengembang untuk meningkatkan, menimbun tanah, dan memperluas.
Pemerintah China gerah, mau menyudahi ketergantungan PDB pada sektor tersebut yang hanya dimainkan oleh banyak spekulan. Akhirnya pemerintah China mengambil kebijakan yang dinamakan "tiga garis merah".
Secara umum kebijakan tersebut mengetatkan pengembangan dalam mendapatkan pinjaman untuk melakukan ekspansi di sektor properti.
Pengembang yang ingin kembali mendapatkan pinjaman akan dinilai berdasarkan tiga garis merah atau ambang batas. Pertama, akan ada batas atas 70% untuk kewajiban atas aset, tidak termasuk uang muka dari proyek yang dijual dengan kontrak.
Kedua, batas 100% atas utang bersih terhadap ekuitas, dan ketiga, para pengembang harus memiliki rasio kas terhadap pinjaman jangka pendek minimal 1 berbanding 1.
Jika ketiganya dilanggar, pengembang tidak diperbolehkan menambah utang pada tahun berikutnya. Sedangkan jika lolos pun, pengembang hanya bisa menaikkan utangnya maksimal 15% tahun depan.
Akhirnya banyak pengembang ternyata telah beroperasi jauh di luar "tiga garis merah" dan dibebani dengan utang yang sangat besar. Tiba-tiba tidak dapat meminjam di bawah aturan baru dan sektor ini menghadapi krisis uang yang parah.
Dampaknya justru banyak proyek-proyek yang mangkrak dan belum terselesaikan, meski pembeli sudah memberikan setoran awal dan membayar angsuran. Sehingga hal itu membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengembang menjadi turun, dan permintaan terhadap sektor properti terkoreksi, serta membuat harga properti di negara tersebut saat ini merosot.
Awal bulan September 2022, media China Caixin, melaporkan bahwa Beijing sedang bersiap untuk mengeluarkan pinjaman 200 miliar Yuan (USD29,3 miliar) atau setara Rp444,74 triliun untuk menyelesaikan proyek perumahan yang belum selesai.
"Negara memiliki alasan untuk campur tangan, memenangkan hati kelas menengah dimulai dengan menyediakan perumahan yang lebih terjangkau, tapi metode untuk mendinginkan pasar yang terlalu cepat dan terlalu kejam akan menjadi bumerang," lanjut Keyu Jin.
Ekonom Oxford Economics, Tommy Wu menambahkan, saat ini Beijing juga telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan ekonomi secara lebih umum, seperti menurunkan suku bunga dan meluncurkan stimulus, termasuk pengumuman kredit baru 300 miliar Yuan (USD44 miliar) minggu lalu melalui bank-bank kebijakan yang dikelola negara.
“Kami berharap dana tambahan akan diatur untuk mendukung penyelesaian rumah yang belum selesai,” kata Wu.
Upaya China untuk menopang pasar pada akhirnya mungkin terbatas. China bakal mengalami dilema, berpegang pada kebijakan "tiga garis merah" dan perkataan Presiden China, Xi Jinping yang menyebut rumah untuk ditinggali, bukan untuk spekulasi, atau membiarkan untuk pertumbuhan ekonomi.
"Pembuat kebijakan China sekarang menghadapi dilema apakah akan melanjutkan tindakan keras mereka terhadap real estate atau sebaliknya demi pertumbuhan," jelas Wu.
“Itu juga akan memalukan secara politik karena akan terlihat seperti pembalikkan atau pengakuan kesalahan," pungkasnya.
(FAY)