Pembangunan Lahan IKN Habiskan 250 Ribu Hektare, Ridwan Kamil: Boros Jadi Kebiasaan
Urusan IKN bukan semata-mata memindahkan dan membangun infrastruktur. IKN adalah membangun masa depan.
IDXChannel - Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menyoroti rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan. Dia pun menilai penting, bahwa IKN harus menjadi tempat yang layak untuk ditinggali.
Dari sudut pandangnya sebagai arsitek dan urban planner, urusan IKN bukan semata-mata memindahkan dan membangun infrastruktur. IKN adalah membangun masa depan.
"Membangun masa depan harus punya identitasnya. Sejarah arsitektur modern kurang lebih mereduksi banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang tentunya bisa harus kita carikan definisi-definisi barunya (di IKN)," katanya.
Menurut pria yang akrab disapa Kang Emil itu, lahan IKN dalam rencana pengembangannya nanti mencapai 250.000 hektare.
Jika IKN didesain sebagai kota yang nyaman ditinggali, maka fungsi livability harus dimiliki. Namun, dia menyebut, paradigma membangun dalam skala besar masih terjadi dalam perencanaan IKN. "Saya kira boros lahan menjadi sebuah kebiasaan di kita, kalau membangun skala besar itu cenderung suka luas-luasan," sebutnya.
Dia mencontohkan, luasan Washington DC yang hanya mencapai 17.000 hektare atau setara dengan luasan Kota Bandung. Dengan luas IKN yang luar biasa tersebut, pihaknya khawatir masyarakat yang hendak mengakses istana negara mirip memasuki kawasan industri.
Karena itu, pihaknya mengingatkan bahwa dalam mendesain ruang sebuah kota ataupun IKN, maka pembangunan harus berprinsip seperti membuat baju, tidak sempit dan longgar.
"(Kegagalan) itu terjadi di Brazilia, itu terjadi di Ibu Kota Myanmar, di mana-mana. (pembangunan fisik) Berusaha menaklukan tanah seluas-luasnya, lupa bahwa manusia itu punya batas-batas psikologis, batas-batas motoris yang harus disusun," paparnya.
"Makanya, sebenarnya saya tidak suka kampus-kampus di Indonesia yang terlalu jauh-jauh bangunannya. Jadi antarbangunan harus naik mobil turun mobil dan sebagainya. Lama-lama karena kebiasaan tidak menciptakan kota dengan ukuran skala yang benar, kita jadi terbiasa menerima budaya bahwa menikmati arsitektur harus naik mobil," lanjut dia.
Kang Emil juga mencontohkan Dubai yang sukses menjadi kota berasitektur modern, indah, dan inovatif, namun tidak nyaman untuk menjalani kehidupan.
Dia menilai, Dubai menjadi contoh bagaimana penataan ruangnya tak mampu menyandingkan kaya dan miskin. Sebaliknya, justru melahirkan ketidakadilan ruang. Dia berharap, IKN belajar dari kegagalan-kegagalan di negara lain.
"Yang saya khawatirkan di tahap berikutnya dari Ibu Kota Negara ini adalah nanti hanya kumpulan katalog arsitekstur, kumpulan bangunan-bangunan yang dibahas estetikanya, teori-teori bangunannya, tapi tidak membentuk sebuah peradaban kota," tegas Kang Emil.
(SANDY)