Pemerintah Diminta Kaji Ulang Pasal Kerugian Negara dalam UU Tipikor
UU Tipikor bisa lebih diperjelas lagi, agar dalam praktik penggunaannya tidak lagi mudah disalahgunakan.
IDXChannel - Pasal kerugian negara dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dinilai kerap kali didefinisikan secara sembarangan dan dengan standar pemahaman yang juga tidak terukur.
Hal ini disampaikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011, Chandra Hamzah, yang menyebut bahwa praktik semacam itu dapat berpotensi menimbulkan ketidakadilan.
"Sangat penting untuk bisa membedakan antara kerugian negara yang nyata dan potensi kerugian yang belum pasti," ujar Chandra, dalam keterangan resminya, Sabtu (21/9/2024).
Pasal kerugian negara, sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, menjadi dasar dalam banyak kasus korupsi di Indonesia. Namun, menurut Chandra, pasal tersebut sering digunakan tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Banyak kasus yang hanya melihat potensi kerugian, lalu langsung dianggap sebagai kerugian negara, padahal dalam bisnis ada dinamika yang harus diperhatikan," ujar Chandra.
Karenanya, Chandra mengusulkan agar pasal kerugian negara dalam UU Tipikor bisa lebih diperjelas lagi, agar dalam praktik penggunaannya tidak lagi mudah disalahgunakan.
Definisi yang lebih tegas dan pembagian yang jelas antara kerugian nyata dan potensi kerugian tersebut, disebut Chandra, diperlukan agar tidak ada kriminalisasi berlebihan terhadap tindakan bisnis yang sah.
Chandra pun menekankan bahwa revisi ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku bisnis, terutama yang beroperasi di sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Kita butuh aturan yang lebih adil. Jangan sampai setiap keputusan bisnis yang membawa risiko dianggap sebagai tindak pidana korupsi hanya karena ada potensi kerugian," ujar Chandra.
Chandra menambahkan, perubahan ini harus segera dilakukan agar tidak mengganggu iklim investasi dan keberlanjutan perusahaan BUMN yang sering terlibat dalam proyek-proyek besar.
Chandra juga menekankan bahwa akuisisi atau keputusan bisnis yang diambil oleh BUMN seharusnya dievaluasi berdasarkan hasil akhirnya, bukan sekadar potensi kerugiannya.
"Tidak semua potensi kerugian bisa dianggap sebagai tindak pidana. Negara harus mampu membedakan mana risiko bisnis dan mana yang betul-betul merugikan negara secara nyata," ujar Chandra.
Chandra pun berharap agar penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi di BUMN bisa lebih adil dan berdasarkan prinsip-prinsip yang lebih matang, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan akibat penerapan hukum yang kurang tepat.
Sebagai contoh, Chandra juga mengungkapkan bahwa kasus-kasus akuisisi di BUMN seringkali ditangani secara tidak tepat.
Dalam konteks akuisisi, nilai aset yang fluktuatif atau keputusan bisnis yang dianggap tidak menguntungkan, kerap dijadikan dasar untuk menuduh adanya kerugian negara, meski belum tentu terjadi kerugian yang faktual.
Misalnya saja, Chandra mencontohkan kasus akuisisi yang dilakukan oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Akuisisi ini dipandang sebagai tindakan yang merugikan negara oleh sebagian pihak, meski pada kenyataannya terdapat aspek bisnis dan risiko yang wajar dalam setiap akuisisi.
"Seharusnya, penegakan hukum terhadap akuisisi di BUMN memperhatikan aspek bisnis secara menyeluruh, bukan hanya fokus pada satu sisi potensi kerugian," ujar Chandra.
Chandra menilai bahwa dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum terlalu cepat menggunakan pasal kerugian negara untuk menjerat pelaku, tanpa mempertimbangkan dinamika bisnis yang kompleks.
"Penegak hukum perlu memahami bahwa risiko kerugian dalam bisnis, termasuk akuisisi, adalah hal yang wajar dan tidak selalu mencerminkan tindak pidana korupsi," ujar Chandra.
(taufan sukma)