Pemimpin Keuangan G7 Coba Rumuskan Strategi Penyelamatan Ekonomi Global
Musim panas yang diwarnai dengan tekanan ekonomi membayangi dunia, termasuk negara-negara industri maju anggota G7.
IDXChannel - Musim panas yang diwarnai dengan tekanan ekonomi membayangi dunia, termasuk negara-negara industri maju anggota G7.
Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (11/5/2023), Saat ini, Presiden Joe Biden bersama anggota Kongres dari Partai Republik sedang terjebak dalam sebuah perdebatan tentang peningkatan batas pinjaman sebesar USD31,4 triliun. Sementara itu, tekanan yang paling besar bagi perbankan AS sejak krisis keuangan tahun 2008 mulai mempengaruhi sektor kredit.
Di Eropa, laju inflasi masih tinggi, produksi industri Jerman menurun dan konflik antara Rusia dan Ukraina terus berlangsung.
Secara global, kurangnya jumlah lapangan pekerjaan dan kenaikan biaya hidup memicu serangkaian aksi mogok mulai dari pengemudi kereta api di Inggris hingga penulis naskah di Hollywood.
Sementara itu, fenomena El Nino memperburuk produksi makanan dan energi. Produksi manufaktur di semua negara mengalami kontraksi dan ketegangan antara AS dan China terus meningkat.
Ini adalah kombinasi risiko yang menantang dan akan dibahas oleh para menteri keuangan dan kepala bank sentral dari berbagai negara dalam pertemuan G7 di Niigata, Jepang akhir pekan ini.
Melindungi sektor keuangan global, mengatasi masalah utang negara-negara berkembang dan membangun jaringan pasokan yang lebih kuat semuanya termasuk dalam agenda.
Pembuat kebijakan juga akan membahas upaya menurunkan inflasi dengan menaikkan suku bunga secara signifikan, yang dapat berdampak negatif pada ekonomi riil.
Meski Federal Reserve telah memberikan sinyal untuk menghentikan kenaikan suku bunga, Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde mengindikasikan akan terus melanjutkan kebijakan tersebut.
"Masih sulit untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi ekonomi global," tulis ekonom HSBC Holdings Plc, Harriet Smith dan James Pomeroy, dalam sebuah catatan baru-baru ini.
"Inflasi masih terlalu tinggi dan risiko-risiko masih banyak, tidak terkecuali risiko-risiko yang berkaitan dengan potensi spillover dari ketegangan di beberapa bagian sektor perbankan khususnya bank-bank regional AS." Lanjutnya.
Di sisi lain, ada optimisme yang didasari peningkatan aktivitas global, penurunan krisis energi di Eropa, pembukaan kembali China, dan data pekerjaan AS yang terus membaik.
(WHY/Anggerito Kinayung Gusti)