Pemulihan Ekonomi Rendah, Faisal Basri: Penanganan Covid-19 Tak Ditangani dengan Seksama
Ekonom Senior Faisal Basri menyoroti pemulihan ekonomi di Indonesia yang dinilai masih rendah dibandingkan dengan negara lain.
IDXChannel – Ekonom Senior Faisal Basri menyoroti pemulihan ekonomi di Indonesia yang dinilai masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Adapun hal itu didorong lantaran penanganan virus Covid-19 tidak ditangani dengan seksama serta perilaku oknum tertentu yang mempersulit memulihan ekonomi.
Faisal mengatakan indeks pemulihan Covid-19 Indonesia berada diperingkat 110 dari 130 negara. Kemudian akhir Juni lalu Bloomberg juga mengeluarkan Bloomberg Resilience Index. Dari 53 negara yang diukur, Indonesia berada diperingkat 49, dimana yang paling terburuk adalah Argentina sementara skor tertinggi adalah Amerika Serikat dan kedua New Zealand.
“Indonesia ini pemulihannya terbata-bata, karena apa? Virusnya tidak ditangani secara seksama, itu harus diakui,”ujarnya dalam webinar, Sabtu (17/7/2021).
Kemudian hal lain yang menunjukkan belum adanya pemulihan perekonomian, selama tujuh bulan berturut-turut kredit mengalami kontraksi yang tercermin dari data yang turun terus menerus.
“Untuk mengetahui menggeliat atau enggaknya, kalau menggeliat kan orang mulai pinjam uang ke Bank buat beli bahan baku dan sebagainya. Dan masyarakat tidak mau konsumsi. Ya dia taruh uangnya di Bank. Uang yang ditaruh di Bank itu pertumbuhannya masih double digit. Tentu saja yang naruh uangnya itu orang-orang kaya,” kata Faisal.
“Uang yang disimpan di Bank, oleh Banknya bukan untuk disalurkan ke kredit tetapi untuk membeli surat hutang pemerintah,” sambungnya.
Di masa pandemi, ia menuturkan Bank justru lebih banyak menempatkan dananya di surat utang milik negara, ketimbang menyalurkan kredit untuk membantu UMKM.
Hal tersebut telihat dari banyaknya surat utang negara yang dibeli oleh Bank pada Maret 2021 mencapai 37,9 persen. Sementara pembelian pada Maret 2020 lalu, hanya mencapai 26,9 persen.
“Bank ini bukannya membantu UMKM dengan memberi kredit dan sebagainya. Tapi uangnya dibelikan surat hutang pemerintah sehingga sekarang pembeli terbanyak dari surat hutang pemerintah itu adalah Bank sebanyak 38 persen. Padahal saat awal pandemi, Bank hanya membeli surat hutang sebanyak 30 persen,” terang dia.
Sementara itu, ia juga menyampaikan bahwa pemerintah masih belum stabil dalam menangani pandemi. Hal itu tercermin dari kebijakan yang terus berubah silih berganti.
“Kalau lihat kondisi sekarang ini bahkan bisa tiga sampai lima tahun pemulihan ekonominya, karena bertele-tele menangani pandeminya. Tidak terorganisir, panglima perangnya ganti-ganti, pakai cara-cara preman, nantang-nantang gak karuan,” tandasnya. (TIA)