Penggunaan PLTS Atap Ganggu Sistem Kelistrikan PLN? Ini Penjelasan ESDM
Banyaknya penggunaan PLTS Atap ini dikhawatirkan membuat sistem kelistrikan PT PLN (Persero) tidak stabil. Benarkah?
IDXChannel - Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di masyarakat terus meningkat. Namun, makin banyaknya penggunaan PLTS Atap ini dikhawatirkan membuat sistem kelistrikan PT PLN (Persero) tidak stabil. Benarkah?
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan dalam upaya menjaga kestabilan sistem kelistrikan, Kementerian ESDM juga memperhatikan kurva beban (duck curve) dan pola operasi yang dilakukan PLN. Hal ini selanjutnya diantisipasi dengan adanya pengaturan untuk menjaga kestabilan sistem dengan:
1. Mewajibkan instalasi sistem PLTS Atap mengikuti SNI dan/atau standar internasional;
2. Pelanggan PLTS Atap dari golongan tarif untuk keperluan industri, harus melaporkan rencana operasi Sistem PLTS Atap kepada Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) secara berkala sesuai dengan kebutuhan;
3. Pelanggan PLTS Atap dari golongan tarif untuk keperluan industri dengan kapasitas sistem PLTS Atap lebih besar dari 3 MW wajib menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca (weather forecast) yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) atau smartgrid distribusi milik Pemegang IUPTLU; dan
4. Pemberian penugasan kepada PT PLN (Persero) untuk membangun aplikasi penggunaan PLTS Atap berbasis digital yang terintegrasi dengan sistem SCADA atau smartgrid distribusi.
Dadan juga membantah terkait isu PLTS Atap membebani keuangan PLN, semakin menyebabkan oversupply listrik dan mengakibatkan konsekuensi Take or Pay bagi PLN akibat potensi market listriknya berkurang. Hal ini sudah dijelaskan baik pada poin pertama maupun poin ketiga.
"Terkait dengan oversupply dan Take or Pay listrik PLN, dijelaskan bahwa kebijakan meningkatkan ketentuan ekspor listrik ke PLN 65 persen menjadi 100 persen memberikan potensi berkurangnya penjualan PLN sebesar 0,3 TWh," jelas Dadan.
Sebagai gambaran, dengan rencana tambahan PLTS Atap 3.600 MW secara bertahap, maka potensi berkurangnya penjualan listrik PLN dengan kebijakan ketentuan ekspor listrik 65 persen yaitu sebesar 5,1 TWh. Namun jika ketentuan ekspor listrik ditingkatkan menjadi 100 persen maka penjualan listrik PLN berkurang menjadi 5,4 TWh. Apabila dibandingkan dengan perkiraan penjualan listrik PLN yang tahun ini sekitar 261 TWh, maka potensi berkurangnya penjualan PLN adalah 0,1 persen saja.
PLN dapat melakukan upaya demand creation mengingat masih besarnya market listrik yang bisa di-create. Pemerintah juga mendorong percepatan kawasan industri, pembangunan smelter yang membutuhkan listrik besar, juga potensi peningkatan konsumsi listrik dari pemanfaatan kompor listrik dan kendaraan listrik untuk jangka panjang.
Pengembangan PLTS Atap juga dapat menjadi peluang perluasan bisnis yang dapat dilakukan PLN untuk menekan potensi berkurangnya penerimaan yang dialaminya, seperti menjual nilai karbon dari pelanggan PLTS Atap selain pelanggan kategori industri dan bisnis.
Selain itu, hasil perhitungan yang dilakukan oleh Kementerian ESDM terhadap PLTS Atap dengan nilai kWh ekspor PLTS Atap sebesar 100 persen untuk menggantikan bahan bakar gas menunjukan bahwa BPP mengalami kenaikan sebesar 1,14 Rp/kWh (0,08 persen), subsidi naik Rp0,079 triliun (0,15 persen), dan kompensasi naik Rp0,24 triliun (1,04 persen) dibandingkan dengan nilai kWh ekspor PLTS Atap sebesar 65 persen.
Meskipun dalam perhitungan tersebut total subsidi yang harus disiapkan oleh pemerintah adalah sebesar Rp54,15 triliun, namun total yang akan dibayar oleh pemerintah adalah Rp53,92 triliun. Hal ini diakibatkan adanya pengurangan energi listrik yang dikonsumsi oleh pelanggan PLTS Atap, yang nilai penghematannya sebesar Rp0,23 triliun. (RAMA)