Pengusaha Hotel dan Resto Teriak Pajak Hiburan Naik Jadi 40 Persen
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebut, kenaikan pajak hiburan 40% mengancam industri pariwisata di Indonesia.
IDXChannel - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebut, kenaikan pajak hiburan 40% mengancam industri pariwisata di Indonesia. Hal tersebut dinilai tidak konsisten terhadap cita-cita pemerintah untuk meningkatkan sektor pariwisata di Tanah Air.
Sekreraris Jendral PHRI, Maulana Yusran mengatakan, besarnya kenaikan pajak tersebut tentunya bakal direspons oleh para pelaku usaha untuk menaikkan harga jual barang atau jasa di sektor hiburan yang dibebankan kepada konsumen.
Sehingga menurutnya, ketika produk pariwisata di Indonesia punya harga yang lebih mahal, tentu sektor pariwisata di Indonesia akan kalah saing dengan negara-negara tetangga yang punya harga lebih kompetitif.
"Kita selalu indikasi pemerintah yang begitu cepat meningkatkan pendapatan lewat pajak. Ini selalu menjadi polemik iklim investasi, pajak hiburan sebelumnya 0-75%, sekarang mulainya 40%," ujar Yusran dalam Market Review IDXChannel, Selasa (9/1/2024).
Yusran menjelaskan, komponen harga menjadi faktor yang paling penting untuk menciptakan daya saing industri pariwisata.
"Kita melihat menerapkan pajak 40% itu akan memicu peningkatan harga. Kita bicara untuk menuju recovery, tapi malah dibebani banyak hal seperti pajak," keluhnya.
Salah satu yang disayangkan oleh PHRI adalah masuknya sektor spa dalam objek pajak hiburan. Padahal spa sendiri banyak diisi oleh para pelaku UMKM di daerah yang sekaligus menawarkan beragam budaya yang berbeda antar daerah.
"Contoh SPA, ini banyak pelaku UMKM, ketika pemerintah gembar gembor mendukung UMKM, tapi dibebankan pajak yang besar, makanya kita berusaha mengeluarkan spa dari sektor hiburan, karena itu dari KBLI saja sudah berbeda, spa itu masuk dalam komponen wellness, tapi pemerintah masukan ke komponen hiburan," jelas Yusran.
Di samping pajak hiburan, para pelaku usaha juga dibebankan oleh adanya pengenaan pajak kenikmatan. Hal itu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh Dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan.
Yusran mengatakan, lewat regulasi tersebut, maka seragam yang diberikan pelaku usaha kepada karyawan menjadi objek pajak. Padahal menurutnya, seragam sendiri merupakan identitas perusahaan, dan sebagai pembeda antara tamu dan karyawan di dunia hiburan.
"Jadi tantangan cukup besar, ada UU Nomor 1 Tahun 2022 (kenaikan pajak 40%) menerapkan pajak hiburan, kemudian ada seragam ditetapkan sebagai pajak kenikmatan," tutupnya.
(FAY)