ECONOMICS

Polemik DBH, Potensi Migas Kabupaten Meranti, dan Keterlibatan Grup Bakrie

Maulina Ulfa - Riset 12/12/2022 15:36 WIB

Dana BHM Provinsi Riau anjlok di tahun 2021. Padahal provinsi ini merupakan salah satu penghasil migas terbesar RI.

Polemik Dana BHM, Potensi Migas Kabupaten Meranti, dan Keterlibatan Grup Bakrie. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Muhammad Adil menghebohkan pemberitaan karena meluapkan kekesalannya ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Dalam acara Rakornas Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah Se-Indonesia, saat bertemu dengan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lucky Alfirman, Adil mengeluhkan dana bagi hasil (DBH) migas yang sedikit diterima oleh kabupaten yang dipimpinnya.

Kekesalan itu ditayangkan channel Diskominfotik Provinsi Riau akhir pekan lalu.

Menurut Adil, Meranti merupakan salah satu daerah produsen minyak terbesar di Indonesia. Daerah itu kata dia mampu memproduksi minyak mentah hingga 7.500 barel per hari saat ini, dari sebelumnya hanya di kisaran 3.000-4.000 barel per hari. Produksi itu pun telah membuat 103 sumur minyak kering.

"Minyak kami pak, 103 sumur kering, kalau 100 sumur lagi kering miskin total, kami tidak perlu bantuan dari provinsi, dari pempus, serahkan saja duit minyak kami, sudah selesai itu," ucap Adil.

Jumlah produksi itu pun menurutnya sudah hampir menyamai target yang diberikan SKK Migas, yaitu 9.000 barel per hari. Untuk mengejar target itu, Meranti menurutnya terus gencar melakukan penggalian sumur dari tahun ini 15 sumur, hingga 2023 sebanyak 19 sumur minyak mentah.

Polemik Dana Bagi Hasil Migas

Menurut Adil, dengan kinerja produksi itu uang dari hasil produksi yang telah diserahkan Meranti ke pemerintah pusat disebut tidak diberikan secara benar.

Menurutnya, dari yang tahun ini yang seharusnya menerima sebesar Rp 114 miliar, hanya naik sekitar Rp 700 juta untuk tahun depan.

Ia berpendapat, dana yang tidak terserahkan ini menjadi masalah karena Meranti merupakan daerah miskin esktrem dengan jumlah penduduk miskin mencapai 25,68%.

"Ini karena kami daerah miskin kalau kami kaya kami biarkan saja mau diambil Rp10 triliun pun enggak apa. Kami daerah miskin, daerah ekstrem. Jadi kalau daerah miskin, bapak ibu ambil uangnya entah dibawa ke mana, pemerataan, pemerataan ke mana?" ujar Adil.

Sementara itu, secara umum berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dana bagi hasil (DBH) migas yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah senilai Rp 10,03 triliun pada 2020.

Di tahun tersebut, 5 Pemda provinsi di Sumatera masuk dalam daftar penerima DBH minyak bumi terbesar. Sementara 3 provinsi lainnya yang memiliki DBH terbesar ada di Jawa, 1 di Papua dan 1 di Kalimantan.

Riau tercatat sebagai Pemda provinsi yang menerima DBH minyak bumi terbesar, yakni Rp 1,08 triliun atau 37,71% dari total DBH ke pemda provinsi.

Namun, pendapatan DBH terpantau menurun pada 2021 yang hanya mencapai Rp 346,1 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)

 

DBH yang ditransfer ke kas Kabupaten atau Kota harus memenuhi kriteria di antaranya:

  1. DBH pertambangan minyak bumi sebesar 15,5% berasal dari penerimaan negara sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah kabupaten atau kota yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya
  2. DBH pertambangan minyak bumi wilayah kabupaten atau kota sebesar 15% dibagi dengan rincian:
  1. DBH pertambangan minyak bumi sebesar 0,5% dibagi dengan rincian:
  1. DBH pertambangan minyak bumi wilayah kabupaten atau kota dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

'Cengkraman' Grup Bakrie

Di Indonesia, terdapat 6 blok migas utama yang menjadi penopang produksi migas nasional. Di antaranya adalah Blok Masela, Maluku, Blok Mahakam, Kalimantan Timur, Blok Natuna, Riau, Blok Berau Berau, Papua, Blok Tuban, Jawa Timur, Blok Malaca Strait, Riau, Blok Rokan, Riau.

Blok yang terdapat di Kepulauan Meranti adalah Blok Malaca Strait. Blok ini dijalankan dengan sistem production sharing contract (PSC) dan berlokasi di Kabupaten Meranti dan Kabupaten Siak, Provinsi Riau.

Blok tersebut meliputi wilayah darat dan lepas pantai Semenanjung Malaka dengan luas awal mencapai 39.550 kilometer persegi.

Setelah dua kali relinquishment (pengembalian wilayah konsesi kepada pemerintah), luasnya kini hanya 7.027,71 kilometer persegi.

Adapun Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang mengelola blok tersebut adalah emiten PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG). Salah satu anak perusahaan yang merupakan perusahaan terafiliasi dengan Grup Bakrie ini bernama EMP Malacca Strait SA.

Sepanjang tahun 2021, SKK Migas bersama KKKS Wilayah Riau berhasil melakukan pengeboran sumur sebanyak 263 sumur dari target pengeboran yang direncanakan.

Capaian lifting minyak di Riau relatif stabil mendekati target APBN sebesar 97% pada tahun 2021. Lifting terhitung berasal dari KKKS BOB PT BSP Pertamina Hulu, PHE Kampar, Pertamina Hulu Rokan, PT Imbang Tata Alam, Texcal Mahato, PHE Siak, PEP Lirik dan SPR Langgak.

Sedangkan capaian gas di tahun 2021 mencapai rata-rata 84.8 MMSCFD yang berasal dari EMP Bentu Ltd dan Imbang Tata Alam milik ENRG. 

Blok Malacca Strait terdiri atas enam lapangan migas di antaranya Lapangan Lalang dan Mengkapan yang memiliki 18 sumur minyak aktif, Melibur dengan 61 sumur migas aktif, lapangan Kurau dengan 29 sumur aktif, Lapangan Selatan dengan 12 sumur aktif serta Lapangan Kuat dengan 11 sumur aktif.

Sebelumnya, Blok Malaca Strait dikelola bersama Kondur Petroleum SA. Awalnya, Kondur Petroleum S.A. adalah operator dengan presentase participating interest mencapai 34,46%. Sementara anak perusahaan EMP memiliki 60,49% participating interest di blok tersebut. 

Kondur Petroleum S.A.merupakan anak perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Ingram dan beberapa perusahaan Amerika lainnya. Setelah beberapa kali terjadi pemindahan kepemilikan maka terakhir Kondur Petroleum S.A. dimiliki sepenuhnya oleh ENRG.

Kini, anak usaha ENRG, PT Imbang Tata Alam (ITA) merupakan operator dan pemilik 100% working interest di blok Malacca Strait. Perusahaan ini mengaku telah mendapatkan temuan minyak baru sebesar 115 juta barel.

Selain itu, berdasarkan pekerjaan Optimisasi Pengembangan Lapangan Lanjutan (OPLL) di Lapangan TB, ITA juga berhasil menemukan tambahan jumlah minyak sebanyak 41 juta barel. Dengan demikian, jumlah penemuan minyak di tempat (original oil in place) menjadi sebesar 156 juta barel.

Disebutkan bahwa estimasi pengeluaran (biaya terkait) untuk memproduksikan temuan cadangan minyak ini secara komersial membutuhkan sekitar Rp2 hingga 2,5 triliun di tahun 2022 dan 2023.

Hingga akhir kuartal tiga tahun ini, ENRG membukukan pendapatan sebesar USD344 juta, setara Rp5,38 trilun (Kurs Rp15.633 terhadap dolar AS). Angka ini meningkat 16,38% dibanding periode sama tahun sebelumnya sebesar USD295,58 juta, setara Rp4,62 triliun.

Adapun laba bersih ENRG naik USD22,1 juta menjadi USD44,09 juta selama periode 9 bulan di 2022. (ADF)

SHARE