Polemik Maju Mundur Penerapan PPN 12 Persen di Awal 2025
Rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen di 2025 terus ramai menjadi perdebatan publik. Bagaimana tidak, pajak menyangkut hajat hidup orang banyak.
IDXChannel - Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di 2025 terus ramai menjadi perdebatan publik. Bagaimana tidak, pajak menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kebijakan yang sudah diusulkan sejak era Presiden Joko Widodo ini akan diterapkan pada 1 Januari 2025. Hal tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Asal tahu saja, pemerintah sudah pernah menaikkan PPN menjadi 11 persen pada April 2024 dan kini per 1 Januari 2025 disesuaikan lagi menjadi 12 persen.
Kebijakan ini pun menuai beragam pro dan kontra. Apalagi, Indonesia sempat mengalami tren deflasi lima bulan beruntun pada 2024. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi terjadi sejak Mei 2024 sebesar 0,03 persen, Juni sebesar 0,08 persen, Juli sebesar 0,18 persen, Agustus sebesar 0,03 persen, dan September sebesar 0,12 persen.
Namun, tren deflasi tersebut berakhir pada Oktober 2024, di mana inflasi tercatat sebesar 0,08 persen. Kemudian November 2024 juga mengalami inflasi 0,30 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Direktur Riset Core Indonesia Ahmad Akbar Susamto menilai, meski disinyalir sebagai tren positif, inflasi dua bulan terakhir itu pun dapat dipandang sebagai pertumbuhan ekonomi yang masih lesu. Tren inflasi yang hadir pasca gejala deflasi selama lima bulan berturut-turut sebelumnya justru dapat dipandang belum ada tanda-tanda positif dari pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
“Nah itu jadi inflasi yang terlalu rendah itu bagus, itu ekspektasi kita, tapi tentu saja pertanyaan berikutnya kenapa kok bisa terjadi begitu. Nah sayangnya adalah kalau saya melihat ini situasi kita selama berapa bulan dan kemudian dua bulan terakhir ini yang sudah agak naik ini masih menunjukkan tanda bahwa ada kelesuan dalam perekonomian kita,” ujarnya dalam rubrik Market Review IDX Channel, Rabu (4/12/2024).
PPN 12 Persen Amanat UU HPP
Dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI, Jakarta, Selasa (19/3/2024), Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan kebijakan tersebut tergantung pemerintahan baru meski sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"PPN 12 persen sudah disampaikan Pak Suryo (Dirjen Pajak), ini juga termasuk masalah fatsun politiknya saja, UU HPP yang tadi bapak ibu kita semua membahas kita sudah setuju, namun kita juga menghormati pemerintahan baru yang nanti termasuk pelaksanaan pembahasan mengenai target-target penerimaan negaranya," katanya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Sekretaris Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso. Menurutnya, dalam pasal 7 UU HPP, kenaikan PPN menjadi 12 persen diterapkan per 1 Januari 2025.
"Kan sudah dihitung penerimaan kita itu target penerimaannya komponennya apa-apa kan sudah didetailkan di situ. Semuanya sudah diperhitungkan," katanya usai acara Perayaan Hari Jadi Kemenko Perekonomian ke-58 di Jakarta, Kamis (25/7/2024).
Susiwijono menambahkan, proses penyusunan RAPBN 2025 dilakukan dengan melibatkan tim dari Presiden Terpilih, Prabowo Subiatno. Bahkan, tim transisi telah berdiskusi panjang yang terbukti dengan pelantikan Thomas Dwijandono baru-baru ini menjadi Wakil Menteri Keuangan II.
"Makanya itu sangat tepat sekali, supaya transisinya nanti bisa langsung jalan. Jadi sudah secara formal, sudah terlibat di dalam perumusan. Jadi saya kira malah akan lebih bagus maka lebih smooth lagi di dalam transisinya semuanya," katanya.
Meski demikian, kata Susi, penerapan PPN 12 persen tahun depan merupakan wewenang dari pemerintahan baru. "Belum tahu, nanti kan (keputusan) lebih banyak ke presiden terpilih," ujarnya.
Tuai Pro dan Kontra
Pemerintah pun diminta mengkaji kembali rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Sebab, perlu disesuaikan dengan perkembangan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat ke depannya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kenaikan PPN ini memang diperlukan untuk menaikkan tax ratio. Namun, hal itu bisa menjadi masalah karena kondisi ekonomi saat ini.
"Pemerintah perlu meng-update kajiannya terkait kenaikan PPN dengan kondisi terkini, sehingga pemerintah dapat memastikan kebijakan tersebut tidak berdampak negatif bagi konsumsi masyarakat dan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata Josua ketika dihubungi IDX Channel, Jumat (26/7/2024).
Menurutnya, kenaikan PPN tersebut memang akan lebih berdampak pada kelompok menengah, sehingga akan lebih banyak mengonsumsi barang sekunder dan tersier yang dikenakan PPN.
"Jika dibandingkan antara menengah bawah dan atas tentunya yang akan paling berdampak adalah kelompok menengah bawah karena kelompok ini lebih sedikit riil income nya (lebih sedikit savings dan investment-nya sehingga proses smoothing consumption akibat kenaikan PPN tidak akan selancar kelompok menengah atas)," katanya.
Terlebih lagi, kebijakan ini dinilai bakal berdampak terhadap pertumbuhan makro ekonomi Indonesia pada 2025 diperkirakan stagnan di level 4,8-5 persen. Bahkan, diproyeksi tidak lebih tinggi dari pertumbuhan di tahun ini.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, stagnasi ekonomi 2025 disebabkan oleh arah kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di tahun depan, yang mulai tergambar di akhir 2024.
Salah satunya yakni kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen dan mulai berlaku 1 Januari 2025.
“Tapi kalau dari analisa CORE dari kacamata sekarang dengan melihat arah kebijakan di 2025, termasuk PPN 12 persen, kemudian cukai dan lain-lain, nah itu kita prediksikan enggak akan lebih tinggi dibandingkan tahun 2024,” ujarnya saat konferensi pers di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (18/12/2024).
Berdasarkan perhitungan CORE, kata dia, pemerintah perlu mengubah beberapa kebijakannya agar ekonomi Tanah Air 2025 melejit menyentuh 8 persen, seperti yang dicanangkan Prabowo Subianto. Soal ini Faisal tidak merinci lebih jauh.
Meski begitu, dia mengaitkan pertumbuhan ekonomi 8 persen dengan penguatan sektor industrialisasi yang dinilai harus dipercepat. Dengan kata lain, tanpa pertumbuhan industri target ekonomi 8 persen sulit tercapai.
“Artinya kalau ingin mencapai target yang lebih tinggi, itu harus diubah kebijakan yang sekarang. Harus lepas dari proyeksi 4,8-5 persen. Nah, jadi ini nyambung ke cerita bahwa kita perlu gerakan industrialisasi, yang lebih cepat,” katanya.
Faisal mencatat, industrialisasi di dalam negeri masih mandek lantaran tidak sinkronnya dengan kebijakan pemerintah. Padahal, sektor ini paling banyak menyumbang jumlah tenaga kerja formal hingga value added alias nilai tambah.
Namun di lain sisi, ada potensi peningkatan inflasi sebesar 0,4 persen serta penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,1 persen seiring dengan kenaikan PPN menjadi 12 persen di 2025.
"Di antara faktor penopang perekonomian domestik 2025, yakni inflasi yang tetap terkendali di rentang kisaran target, sehingga menopang daya beli dan permintaan domestik di tengah risiko lemahnya permintaan eksternal," ujar Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau BSI (BRIS) Banjaran Surya Indrastomo dalam Sharia Economic Outlook 2025, Senin (23/12/2024).
Banjaran menilai rumus program quick win pemerintahan Prabowo-Gibran berpeluang mendukung akselerasi pertumbuhan ekonomi domestik jangka panjang, termasuk melalui industri makanan minuman, penyediaan makanan minuman, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan.
Semua Sektor Industri Teriak
Hampir semua sektor industri di tanah air pun gelisah dengan rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Rata-rata dari mereka menyatakan, kebijakan ini akan semakin memberikan dampak negatif bagi perekonomian karena harga barang dan jasa mengalami kenaikan.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Wijaya mengatakan, kenaikan PPN pada akhirnya akan membuat masyarakat menengah ke bawah dan pengusaha menerima getahnya.
"Kalau harga jual naik yang paling terdampak pasti yang paling bawah, bagian kelas menengah atas mungkin relatif kecil terasa, tetapi bagi masyarakat kelas menengah ke bawah ini akan sangat terasa. Akhirnya adalah menurunkan daya beli," kata Alphonzus saat dijumpai di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (30/7/2024).
Maka dari itu, dia berharap pemerintah dapat meramu strategi lain untuk meningkatkan pendapatan, misalnya menurunkan pajak daerah hingga maksimal 10 persen. Sebab, banyak pelaku usaha baru yang berbisnis wahana permainan, hiburan, dan sebagainya sehingga transaksinya berlipat.
"Toh akhirnya pemerintah menerimanya akan lebih dari sekadar menaikkan tarif," kata Alphonzus.
Sementara itu, Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) kembali meminta agar penerapan PPN 12 persen tahun depan dikaji ulang. Alih-alih menaikkan tarif, pemerintah sebaiknya meningkatkan kepatuhan pembayaran.
Ketua Umum GAPMMI Adhi Lukman menilai, tingkat kepatuhan pembayaran PPN di Indonesia masih sangat rendah hanya 60 persen, sehingga bisa ditingkatkan lagi lewat berbagai macam sosialisasi dan edukasi oleh aparat pajak.
"Kalau 100 persen patuh, otomatis pendapatan negara akan meningkat. Tidak perlu naik dulu. Malah itu yang harus kita kejar, semuanya patuh," ujarnya di Senayan, Jakarta, Senin (19/8/2024).
Adhi menilai, kenaikan tarif PPN hanya akan membebani perekonomian, terutama terkait upaya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Padahal, kata dia, pemerintah menargetkan Indonesia menjadi negara dengan berpendapatan tinggi pada 2045.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kata Adhi, pendapatan pajak sebetulnya bisa meningkat tanpa harus menaikkan tarif. Apalagi, pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mematok pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.
"Kita lebih baik mengejar pertumbuhan ekonomi yang besar, supaya income pemerintah melalui pajak pendapatan, pajak PPh (Pajak Penghasilan) 21, PPN itu bisa bagus," ujar dia.
Di lain kesempatan, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mewanti-wanti kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen yang bakal diberlakukan pada 2025 dapat membuat usaha hotel dan restoran tercekik. Sebab, akan berimbas pada penurunan penjualan.
"Saya rasa yang memberikan masukan atau warning dari dunia usaha banyak ya, bukan hanya hotel-restoran, semua sektor rasanya sudah memberikan warning bahwa itu akan berdampak kepada penurunan penjualan," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Hariyadi menjelaskan, bisnis hotel dan restoran memiliki mata rantai yang sangat luas, mulai dari vendor yang bergerak di sektor peternakan dan pertanian yang memasok kebutuhan pangan hingga UMKM di sektor amenities. Sehingga, kebijakan PPN 12 persen akan merugikan banyak pihak.
Apalagi, kata dia, saat ini pun pemasukan di bidang hotel dan restoran menurun. Maka dari itu, Hariyadi pun berharap agar situasi ini tidak diperparah dengan adanya kebijakan PPN 12 persen pada 2025.
"Kami berharap kebijakan ini dapat ditinjau kembali, karena dampaknya tidak hanya pada pelaku usaha, tapi juga pada tenaga kerja dan ekosistem pariwisata secara keseluruhan," kata dia.
Kemudian, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memproyeksi adanya kenaikan harga 5-10 persen jika pemerintah memberlakukan PPN menjadi 12 persen di 2025.
Ketua Umum terpilih Aprindo periode 2024-2028 Solihin dalam acara konferensi pers Musyawarah Nasional Aprindo ke-VIII, Jakarta, Minggu (17/11/2024), mengatakan, kondisi itu bakal memberatkan pembeli, terutama di tengah pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan. Sebab, konsumen menjadi aspek utama yang menanggung dampak dari kenaikan 1 persen PPN menjadi 12 persen.
Meski kenaikan PPN menjadi sinyal buruk bagi daya beli masyarakat, Solihin enggan menjelaskan dampak negatif terhadap pasar ritel jika kebijakan itu resmi ditetapkan di awal tahun depan.
Lebih lanjut, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial dari kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025.
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Organisasi, Hukum dan Komunikasi Kadin Indonesia Yukki Nugrahawan Hanafi mengungkapkan, dunia usaha menekankan perlunya kajian dan pertimbangan mendalam mengenai dinamika perekonomian pada 2024, serta proyeksi perekonomian pada 2025 sebagai pertimbangan sebelum implementasi kenaikan tarif PPN 12 persen.
"Untuk itu, Kadin Indonesia mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial yang mungkin muncul akibat kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 mendatang," kata Yukki kepada IDX Channel, Jumat (22/11/2024).
Dalam penerapan kebijakan PPN 12 persen, dia menuturkan, pemerintah perlu memitigasi dampak dari kebijakan tersebut, khususnya terhadap penurunan daya beli masyarakat kecil dan menengah serta efeknya terhadap tingkat inflasi.
Terlebih, lanjut Yukki, dengan melihat pada kondisi ketidakpastian ekonomi makro secara global yang mengalami perlambatan dan resesi, maka konsumsi domestik menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.
Sektor industri otomotif pun tak luput bersuara. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai kebijakan PPN 12 persen dan opsen pajak bakal memengaruhi harga jual mobil baru. Hal ini akan berdampak pada menurunnya minat masyarakat untuk membeli mobil baru tahun depan.
"Kalau Anda lihat PPN 12 persen itu naik, jadi per satu persen itu untuk mobil (seharga) sekitar Rp200 juta, dampaknya sekitar Rp2 juta. Kemudian yang Rp400 juta dampaknya Rp4 juta," kata Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi saat ditemui di ICE BSD City, Tangerang, belum lama ini.
Selain itu, Nangoi juga menyorot soal perubahan aturan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Hal ini bisa membuat harga mobil semakin tinggi karena instrumen pajak yang semakin mahal.
Selain itu, buruh pun ikut berteriak. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pun ikut menyampaikan empat poin tuntutan terkait rencana pemerintah menaikkan PPN. Hal ini disampaikan mengingat akan berdampak pada semakin mahalnya harga barang dan jasa, sehingga daya beli masyarakat merosot.
“Lesunya daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor,” ujar Presiden KSPI Said Iqbal dikutip dari pernyataan resminya pada Rabu (20/11/2024).
Berikut empat poin tuntutan buruh:
1. Menaikkan upah minimum 2025 sebesar 8-10 persen agar daya beli masyarakat meningkat
2. Menetapkan upah minimum sektoral yang sesuai dengan kebutuhan tiap sektor
3. Membatalkan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen
4. Meningkatkan rasio pajak bukan dengan membebani rakyat kecil, tetapi dengan memperluas jumlah wajib pajak dan meningkatkan penagihan pajak pada korporasi besar dan individu kaya
Tiba-Tiba Berpotensi Diundur
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, penerapan kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen bisa jadi diundur. Padahal, sedianya kebijakan tersebut akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
"(PPN 12 persen) Hampir pasti diundur," ujarnya di Jakarta, dikutip pada Kamis (28/11/2024).
Menurut Luhut, rencana diundurnya kebijakan PPN 12 persen itu karena pemerintah ingin menggelontorkan stimulus atau insentif kepada masyarakat terlebih dahulu. Bentuk stimulus ini pun masih terus digodok hingga saat ini.
Dia menegaskan, bentuk stimulus atau insentif yang diberikan oleh pemerintah dipastikan tidak akan berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), melainkan subsidi energi di sektor ketenagalistrikan.
Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku belum ada pembahasan perihal penundaan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12 persen.
"Belum. Belum, belum dibahas," ujarnya saat ditemui awak media di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (28/11/2024).
Kemudian, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Parjiono juga mengungkapkan, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan tetap berlaku mulai 1 Januari 2025.
Menurut Parjiono, pemberlakuan nantinya akan mengecualikan beberapa kelompok masyarakat miskin hingga pendidikan.
"Jadi kita masih dalam proses ke sana, artinya akan berlanjut. Tapi kalau kita lihat dari sisi khususnya menjaga daya beli masyarakat, di situ kan pengecualiannya sudah jelas bahwa masyarakat miskin, kesehatan, pendidikan, dan seterusnya di sana," kata Parjiono dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, Selasa (3/12/2024).
Prabowo Turun Gunung
Presiden Prabowo Subianto menegaskan, PPN 12 persen yang akan diterapkan per 1 Januari 2025 hanya dikenakan kepada barang-barang mewah. Hal tersebut telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Kan sudah diberi penjelasan PPN (12 persen) adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan. Tapi selektif hanya untuk barang mewah," kata Prabowo dalam jumpa pers di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (6/12/2024).
Prabowo menuturkan, tarif PPN 12 persen tidak akan diberlakukan kepada rakyat kecil. Dirinya pun berjanji akan selalu membantu dan melindungi rakyat kecil.
"Untuk rakyat yang lain kita tetap lindungi, sudah sejak akhir 23 (2023) pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut untuk membela, membantu rakyat kecil ya. Jadi kalaupun naik itu hanya untuk barang mewah," ujar Prabowo.
Guyur Insentif
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pelanggan dengan daya listrik di bawah 6.600 VA dibebaskan dari PPN. Nilai pembebasan PPN tersebut mencapai Rp12,1 triliun.
"Untuk barang yang sangat strategis seperti listrik dan air, PPN-nya dibebaskan untuk listrik kecuali untuk rumah yang dayanya di atas 6.600 VA," ujarnya dalam paparannya di dalam konferensi pers Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan, Jakarta, Senin (16/12/2024).
"Untuk listrik tadi yang di bawah 6.600 (VA) PPN yang dibebaskan nilainya mencapai Rp12,1 triliun," kata dia.
Sedangkan pembebasan PPN atas air bersih nilainya mencapai Rp2 triliun.
Hadir dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan, hanya sekitar 0,5 persen dari pelanggan PLN yang akan dikenakan PPN untuk tarif listrik mereka, sementara 99,5 persen lainnya akan mendapatkan pembebasan PPN, terutama bagi pelanggan dengan daya listrik lebih rendah.
"Kami mengapresiasi bahwa PPN dikenakan pada 400 ribu pelanggan PLN di mana dayanya adalah 6.000 watt ke atas, dengan total jumlah pelanggan rumah tangga adalah 84 juta maka yang bebas PPN dari tarif listriknya adalah 99,5 persen," kata Darmawan.
"Sedangkan PPN untuk listrik dikenakan pada 0,5 persen pelanggan rumah tangga kami atau pelanggan yang terkaya dari desil yang ada dalam struktur pelanggan kami," ujar dia.
Lebih lanjut, pemerintah juga akan menggelontorkan bantuan beras selama dua bulan yakni Januari-Februari 2025 kepada sebanyak 16 juta penerima bantuan pangan (PBP). Bantuan pangan ini merupakan bagian dari paket stimulus kebijakan ekonomi per 1 Januari 2025.
"Bantuan pangan beras ini akan digelontorkan di bulan Januari-Februari untuk 16 juta PBP, di mana masing-masing PBP akan mendapatkan 10 kg beras. Fokusnya ada di desil 1 dan 2,” ujar Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, ditulis pada Selasa (17/12/2024).
Berikut daftar lengkap 15 insentif yang telah disiapkan pemerintah dari keterangan resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
- Bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, pemerintah akan menyediakan serangkaian fasilitas kebijakan berupa:
1. PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1 persen dari kebijakan PPN 12 persen untuk minyak goreng sawit curah yang dikemas dengan merek MINYAKITA, sehingga PPN yang dikenakan tetap sebesar 11 persen
2. PPN DTP sebesar 1 persen dari kebijakan PPN 12 persen juga diberlakukan untuk tepung terigu, sehingga PPN yang dikenakan pada tepung terigu juga tetap sebesar 11 persen
3. Gula industri juga menjadi komoditas yang memperoleh fasilitas PPN DTP sebesar 1 persen dari kebijakan PPN 12 persen, sehingga dikenakan PPN sebesar 11 persen.
Untuk gula industri tersebut merupakan input penting bagi industri makanan minuman, di mana industri makanan dan minuman memiliki share sebesar 36,3 persen terhadap total industri pengolahan
4. Pemberian Bantuan Pangan berupa beras sebanyak 10 kilogram (kg) per bulan kepada masyarakat desil 1 dan 2 selama 2 bulan (Januari dan Februari 2025), dengan sasaran sebanyak 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP)
5. Diskon sebesar 50 persen untuk pelanggan dengan daya terpasang listrik hingga 2.200 VA selama 2 bulan (Januari-Februari 2025), dengan menyasar sebanyak 81,42 juta pelanggan, mencakup konsumsi 9,1 Twh per bulan yang setara 35 persen total konsumsi listrik nasional
- Selain menyasar rumah tangga berpenghasilan rendah, fasilitas kebijakan di bidang ekonomi yang didesain pemerintah juga memiliki peruntukan bagi masyarakat kelas menengah, yakni berupa:
6. PPN DTP Properti bagi pembelian rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar dengan dasar pengenaan pajak sampai dengan Rp2 miliar.
Skema insentif tersebut diberikan sebesar diskon 100 persen untuk Januari-Juni 2025 dan diskon 50 persen untuk Juli-Desember 2025.
7. PPN DTP Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) atau Electric Vehicle (EV) dengan rincian sebesar 10 persen atas penyerahan EV roda empat tertentu dan EV bus tertentu dengan nilai TKDN paling rendah 40 persen, dan sebesar 5 persen atas penyerahan EV bus tertentu dengan nilai TKDN paling rendah 20 persen sampai dengan kurang dari 40 persen
8. PPnBM DTP EV sebesar 15 persen atas impor KBLBB roda empat tertentu secara utuh (Completely Built Up/CBU) dan penyerahan KBLBB roda empat tertentu yang berasal dari produksi dalam negeri (Completely Knock Down/CKD).
9. Pembebasan Bea Masuk EV CBU sebesar 0 persen, sesuai program yang sudah berjalan
10. Pemberian insentif PPnBM DTP sebesar 3 persen untuk kendaraan bermotor bermesin hybrid
11. Insentif PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja dengan gaji sampai dengan Rp10juta per bulan yang berlaku untuk sektor padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, dan furniture
12. Optimalisasi Jaminan Kehilangan Pekerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan sebagai buffer bagi para pekerja yang mengalami PHK dengan memberikan dukungan berupa manfaat tunai 60 persen flat dari upah selama 6 bulan, manfaat pelatihan Rp2,4 juta, kemudahan akses informasi pekerjaan, dan akses Program Prakerja
13. Diskon sebesar 50 persen atas pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) selama 6 bulan bagi sektor industri padat karya yang diasumsikan untuk 3,76 juta pekerja
- Secara spesifik, pemerintah juga telah menyiapkan fasilitas insentif bagi dunia usaha terutama untuk perlindungan kepada UMKM dan Industri Padat Karya, yakni melalui:
14. Perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5 persen sampai dengan 2025 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) UMKM yang telah memanfaatkan selama 7 tahun dan berakhir di 2024.
Untuk WP OP UMKM lainnya tetap dapat menggunakan PPh Final 0,5 persen selama 7 tahun sejak pertama kali terdaftar sesuai Peratuan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, dan untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun maka akan diberikan pembebasan PPh
15. Pembiayaan Industri Padat Karya untuk revitalisasi mesin guna meningkatkan produktivitas dengan skema subsidi bunga sebesar 5 persen dan range plafon kredit tertentu.
(Dhera Arizona)