RAPBN 2026 Tunjukan Arah Konsolidasi Fiskal, Ekonom Peringatkan Risikonya
Ekonom mengingatkan strategi konsolidasi fiskal menyimpan dilema yang perlu diantisipasi dengan cermat.
IDXChannel - Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menunjukkan arah baru pemerintah dalam memperkuat konsolidasi fiskal.
Defisit anggaran dirancang sebesar Rp638,8 triliun atau setara 2,48 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih rendah dibandingkan target APBN 2025 sebesar 5,2 persen dan outlook pada tahun ini sebesar 2,78 persen.
Menurut Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, RAPBN 2026 menunjukkan niat pemerintah untuk melakukan konsolidasi fiskal, yaitu defisit ditekan, keseimbangan primer membaik, dan belanja pusat diarahkan ke program prioritas.
Namun, ia mengingatkan strategi konsolidasi ini menyimpan dilema yang perlu diantisipasi dengan cermat.
"Di satu sisi, disiplin fiskal penting untuk menjaga kepercayaan investor dan rating utang. Di sisi lain, jika dilakukan terlalu cepat dan terlalu kaku, konsolidasi bisa melemahkan peran APBN sebagai motor pertumbuhan ekonomi,” ujar Syafruddin dalam keterangan resminya, Sabtu (16/8/2025).
Dalam konteks ketidakpastian global yang masih tinggi, menurutnya, Indonesia justru membutuhkan kebijakan fiskal yang adaptif, fleksibel, dan berani mengambil risiko demi menjaga momentum pertumbuhan.
Empat Langkah Jaga Kesimbangan Fiskal
Syafruddin juga menyoroti empat langkah penting untuk menjaga keseimbangan fiskal sekaligus memperkuat peran APBN sebagai instrumen pembangunan.
Langkah pertama, dengan melakukan reformasi perpajakan. Ia mendesak Pemerintah untuk mempercepat digitalisasi sistem perpajakan, memperkuat kepatuhan wajib pajak, serta mendiversifikasi sumber penerimaan.
"Kenaikan target pajak dinilai tidak cukup apabila tidak diiringi dengan perbaikan instrumen pemungutan dan pengawasan," ujarnya.
Selain itu, revitalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga menjadi prioritas. Optimalisasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan peningkatan kontribusi dividen dari BUMN dianggap penting.
"Optimalisasi SDA dan dividen BUMN harus dilakukan, tetapi yang lebih penting adalah menemukan sumber penerimaan baru dari ekonomi digital dan layanan publik modern," ungkapnya.
Ketiga, reformasi transfer ke daerah. Menurut Syafruddin, pemangkasan nominal tidak boleh dilakukan tanpa memperbaiki mekanisme distribusi. Transfer harus berbasis kinerja, dengan insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan pelayanan publik.
Terakhir, strategi pembiayaan yang hati-hati dan inovatif perlu dikedepankan. Penggunaan instrumen seperti obligasi hijau, sukuk, serta skema pembiayaan berbasis proyek dinilai mampu mengurangi risiko fiskal sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan.
"RAPBN 2026 adalah cerminan pilihan politik ekonomi pemerintah. Dengan defisit yang terkendali, pemerintah ingin menunjukkan disiplin fiskal," ujar Syafruddin.
"Tantangan sebenarnya bukan sekadar menjaga angka defisit, melainkan memastikan bahwa APBN tetap berfungsi sebagai instrumen pembangunan yang adil, merata, dan berkelanjutan," tambahnya.
(Febrina Ratna Iskana)