Revolusi Industri Inggris di Abad ke-17 Jadi Cikal Bakal Budaya Thrifting
Thrifting saat ini tengah ramai diperbincangkan usai Presiden Indonesia Joko Widodo melarang jual beli baju impor bekas atau thrifting.
IDXChannel - Thrifting saat ini tengah ramai diperbincangkan usai Presiden Indonesia Joko Widodo melarang jual beli baju impor bekas atau thrifting. Jokowi menilai, jual beli baju impor bekas mengganggu industri tekstil dalam negeri.
Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki juga menilai bahwa bisnis thrifting dapat memukul industri fashion dalam negeri, termasuk pasar fashion produksi UMKM Lokal.
Teten pun berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan guna membuat regulasi yang ketat terkait impor baju bekas dari luar negeri.
Lalu apa itu trifting dan sejarahnya?
Thrifting merupakan kegiatan belanja barang bekas yang dinilai mempunyai harga yang lebih murah sehingga dianggap lebih hemat. Biasanya belanja produk bekas ini berupa produk lokal hingga produk impor.
Kegiatan tersebut bukan hanya sekedar membeli barang saja, tetapi bagaimana kepuasan seseorang apabila mendapatkan barang yang keren hingga langka dengan harga yang lebih murah.
Melansir ussfeed.com, thrifting bahkan sudah ada sejak tahun 1760-an hingga 1840-an. Saat itu terjadi revolusi industri di Inggris pada abad ke-19 yang mengenalkan istilah mass production of clothing. Istilah tersebut mengubah pandangan masyarakat tentang dunia fashion.
Saat itu, harga pakaian sangat murah sehingga masyarakat mempunyai pemikiran bahwa pakaian merupakan barang yang sekali pakai alias disposable.
Hal tersebut mengarahkan masyarakat menjadi konsumtif, sehingga barang yang dibuang menjadi menumpuk. Barang bekas ini biasanya digunakan oleh para imigran.
Pada rentang waktu yang sama, 1760-1840, Salvation Army menjadi NGO pertama yang memfokuskan barang yang tidak terpakai sebagai bentuk donasi.
Namun, meskipun thrifting untuk pertama kalinya muncul di Inggris, thrifting malah besar di Amerika. Hal itu terjadi karena pada tahun 1920 terjadi Great Depression, krisis besar-besaran di Amerika.
Akibatnya, banyak orang yang tidak mempunyai pekerjaan hingga jatuhnya bursa saham New York. Bahkan saat itu, masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk membeli pakaian baru.
Akhirnya, masyarakat memilih alternatif untuk berbelanja di thrift store atau toko pakaian bekas. Sementara, orang yang berkecukupan menjadikannya sebagai sarana donasi.
Ketika itu, thrift store dikategorikan sebagai department store. Goodwill Industries menjadi salah satu toko yang terkenal.
Pusat perbelanjaan Goodwill Industries mempunyai persediaan pakaian serta peralatan rumah tangga yang siap menyuplai lebih dari 1.000 rumah tangga.
Hal tersebut pun berhasil mengubah istilah junk shops atau toko barang bekas menjadi a different approach to charity atau pendekatan yang beda untuk beramal.
Kemunculan Buffalo Exchange pada 1970 menjadikannya thrift shop yang sukses, dengan membuka cabang ke-17 di Amerika Serikat. Total cabang yang mereka punya mencapai 49 gerai.
Pelanggan dapat melakukan transaksi beli ataupun jual. Apabila konsumen menjual barangnya, konsumen akan mendapat persenan dari hasil penjualan.
Pada 1990-an, penyanyi Kurt Cobain mempopulerkan style genre grunge dan menjadi panutan setiap bagi remaja saat itu. Dengan gayanya tersebut, Kurt Cobain bersama sang istri pun secara tidak langsung mempromosikan thrifting style, yakni gaya yang identik dengan jeans robek, kemeja flanel, dan beberapa lapis pakaian.
Bahkan terkadang menggunakan kaos yang bolong-bolong. Jika sebelumnya membeli barang bekas karena faktor ekonomi, kini konsumen pergi ke toko barang bekas demi gaya berpakaian yang ingin ditonjolkan. Lama-kelamaan, hal ini menjadi gaya hidup.
Dunia transportasi dan teknologi yang semakin maju membuat peredaran barang bekas tidak hanya di satu negara saja, melainkan antarnegara.
Hal tersebut memicu terjadinya impor barang bekas. Di Indonesia sendiri, thrifting dikenal sebagai awul-awul.
Awul-awul bukan hal yang baru di kalangan masyarakat, karena kegiatan tersebut sudah ada sejak zaman dulu. Biasanya, baju-baju bekas diimpor dari Amerika Serikat, China, Jepang hingga Korea.
Baju-baju bekas tersebut dijual di pasar. Namun tren awul-awul pada zaman dulu dan saat ini mengalami perubahan. Dulu, barang awul-awul lebih banyak dibeli kalangan tua. Sementara saat ini, awul-awul menjadi tren fashion untuk kalangan muda.
Melansir surakarta.go.id, terdapat faktor yang membuat orang menyukai thrifting. Dengan menggunakan barang bekas, seseorang akan tertantang untuk berkreativitas dalam gaya.
Membeli barang thrifting juga dinilai lebih murah dan merupakan bagian dari kesadaran lingkungan untuk mengurangi limbah barang bekas.
(SLF)