Rugikan Rp84,9 Miliar, Terdakwa Investasi Bodong Riau Bisa Dijerat UU Perbankan
Terdakwa pelaku investasi bodong di Riau menurut saksi ahli bisa dijerat UU Perbankan.
IDXChannel - Kasus dugaan investasi bodong dengan terdakwa para bos Fikasa Group menghadirkan saksi ahli dari bank dan ahli pidana korporasi. Para ahli menilai terdakwa Agung Salim Cs yang menipu para korban dengan total kerugian Rp 84,9 miliar bisa dijerat dengan undang undang Perbankan.
Dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Ahli Hukum Pidana, Profesor Agus Surono mengatakan pengumpulan atau menghimpun dana dari masyakrakat oleh korporasi harus seizin pemerintah dalam hal ini adalah OJK (Otorita Jasa Keuangan). Jika tidak, maka itu perusahaan dan pengurus melanggar Undang Undang Perbankan.
"Di dalam Pasal 46 Ayat 1 Undang-undang Perbankan intinya adalah tidak adanya izin dalam menghimpun dan menyimpan dana dari masyarakat dari Otoritas Jasa Keuangan. Dimana OJK ini lah yang memberi atau tidak memberi izin. Sehingga jika ada subjek hukum pidana korporasi tidak izin dari otorita berwenang, maka norma Pasal 46 Ayat 1 telah dilanggar," ucap Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila Senin (24/1/2022) di PN Pekanbaru.
Dalam kasus investasi bodong di Pekanbaru yang digelar dari sore hingga malam, lima terdakwa yakni bos Fikasa Group yakni Agung Salim, Bakti Salim, Cristian Salim, Elly Salim dan Maryani menghimpun dana sebanyak 10 orang. Modusnya, dengan menawarkan produk investasi 'promissory notes' atau mirip seperti deposito. Mereka mengiming imingi korban dengan bunga cukup tinggi yakni 9-12 persen pertahun. Ini cukup tinggi dibanding dengan bunga bank, 5 persen.
Untuk menghimpun dana dari mayarakat dengan sistem berjangka, PT Fikasa Group memakai beberapa anak perusahaan yakni PT Tiara Global dan PT Wahana Bersama Nusantara. Peruhaan itu ada yang bergerak dalam bidang properti dan air minum dan juga perhotelan. Di Pekanbaru, mereka mulai menghimpun dana dengan produk promissory notes (surat utang) sejak tahun 2016. Namun sejak tahun 2020 tidak ada pembayaran alias macet. Para nasabah di Pekanbaru berusaha meminta pertanggungjawaban Fikasa Group. Namun tidak ada kejelasan termasuk permintaan pengembalian modal nasabah. Di Pekanbaru ada 10 nasabah tertipu dengan total kerugian Rp 84,9 miliar. Belakangan para nasabah melaporkan kasus ini ke Mabes Pori.
Prof, Agus mengatakan bahwa jika terjadi permasalah dalam perhimpunan dana maka korporasi dan pengurus bisa dijerat dengan hukum. Berdasarkan tafsir Pasal 46 Ayat 1 itu menghimpun dana dari masyarakat, karena dengan diterbitkannya promissory note dana dana dari masyarakat bisa keluar. Pasal 46 Ayat 1 yang dipersoalkan dari perkara ini adalah berkaitan tidak adanya izin mengimpun dana dari masyarakat. Saya memaknainya Pasal 46 Ayat 1 termasuk juga didalamnya adalah dengan cara menerbitkan promissory notes. Untuk yang bertanggungjawab, korporasi berbuat pengurus bertanggungjawab dan pengurus berbuat, pengurus bertanggungjawab. ," ucap Agus juga Guru Besar di Universitas Al Azhar itu.
Sementara itu Ahli Pidana Perbankan Dr Rouli Anita Valentina yang juga diminta keterangan dipersidangan menilai bahwa dalam kasus ini perusahaan melakukan usaha yang mirip dengan deposito dan patut diduga menghimpun dana dari masyarakat dengan mengeluarkan produk yang dinamakan promissory note.
"Dari keilmuan yang saya pahami produk itu patut dikatagotikan sebagai simpanan. Menurut Undang undang Perbankan, simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat berdasarkan perjanjian penyimpanan dalam bentuk giro, deposito sertifikat deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Secara hukum, yang penting bukan apa yang dinamakan para pihak seperti promissory notes, tapi kegiatan mereka itu patut diduga sebagai kegiatan menghimpun dana. Karateristik produk mereka itu seperti deposito, diambil dalam waktu tertentu, terus adanya bunga dan bilyet sebagai bukti kepemilikan dana dari anggota masyarakat. Jadi kesimpulan saya itu adalah diduga memenuhi Pasal 46 yakni melakukan penghimpunan dana ," imbuhnya.
Sidang kasus dugaan invstasi bodong ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Dahlan. Para korban investasi bodong juga ikut hadir di persidangan. Para terdakwa Agung Salim Cs juga dihadirkan secara langsung.
Pada persidangan sebelumnya sempat terungkap adanya uang Rp 10 triliun di rekening Fikasa Group dan juga rekening terdakwa di sejumlah bank. Ini terlihat dari transaksi dari tahun 2010-2020. Namun sejak tahun 2020 uang yang jumlahnya cukup pantastis itu ditarik dan tersisa hanya 'recehan' yakni ratusan juga dan Rp 1 miliar. Hal itu terungkap dari sejumlah pihak bank yang dimintai kesaksian di persidangan.
Menanggapi hal itu Ahli Hukum Pidana, Prof Agus Surono mengatakan bahwa banyak modus yang dipakai untuk 'melarikan' uang ada menempatkan uang ke tempat lain, atau membeli surat berharga.
"Bisa juga dana dana itu dialihkan ke pihak lain. Ini bisa saja modus pencucian uang. Logikanya, jika kekayaan itu diperoleh dengan yang halal tidak mesti dalam ketakutan apapun. Tapi yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah korban, mereka dirugikan dan nilainya cukup siginifikan. Hukum dan keadilan harus ditegakan supaya tidak merugikan masyarakat," katanya.
Dalam kasus ini, dia menilai terdakwa bisa dijerat dengan KHUP tentang Pasal 372 dan 378 KHUP tentang tindak pidana penipuan dan penggelapan serta Undang Undang Pasal 46 Perbankan.
Ahli Pidana Perbankan, Dr Rouli Anita Valentina mengatakan bahwa sudah banyak kasus serupa terjadi di masyarakat. Untuk itu dia meminta aparat berwenang lebih awal menindak para pelaku.
"Kegaitan seperti ini banyak dilakukan dan sudah banyak korbannya, jadi tolong dihentikan. Hukum yang terbaik adalah hukum yang memberi perlindungan terbaik kepada masyarakat," jelasnya.
(IND)