ECONOMICS

Rupiah Terpuruk, Pengusaha Was-Was Cost of Doing Business Semakin Mahal

Suparjo Ramalan 20/06/2024 19:07 WIB

Pelemahan Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dinilai akan membuat sektor bisnis tertekan hebat. Sebab, cost of doing business semakin tinggi.

Rupiah Terpuruk, Pengusaha Was-Was Cost of Doing Business Semakin Mahal. (Foto MNC Media)

IDXChannel - Pelemahan Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dinilai akan membuat sektor bisnis tertekan hebat. Sebab, biaya bisnis (cost of doing business) semakin tinggi alias mahal.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, tren pelemahan Rupiah terhadap dolar AS membuat kondisi di dalam negeri menjadi tidak stabil, khususnya industri yang secara transaksional masih menggunakan dolar AS.

Menurut dia, naiknya cost of doing business membuat biaya operasional menjadi terganggu. Kondisi ini berpotensi memengaruhi permintaan dan daya beli masyarakat yang dipandang bakal menurun.

“Jadi memang kita lihat kondisi sekarang dengan pelemahan seperti ini ya tidak kondusif ya, jadi saya mengatakan ini akan menambah cost of doing business gitu,” ujar Shinta saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (20/6/2024). 

“Kalau kita lihat kan sekarang dengan pelemahan Rupiah jelas nantinya akan bisa mengganggu dari segi operasional cost, kembali lagi dengan demand, dan daya beli menurun,” kata dia.

Salah satu sektor yang paling terdampak atas penguatan dolar AS adalah industri padat karya berorientasi ekspor. Shinta menyebut, lini bisnis ini akan banyak menemui kendala karena bahan baku penolongnya masih impor dan menggunakan mata uang asing negara Paman Sam.

“Kita melihat bahwa utama industri-industri padat karya berorientasi ekspor ini pasti akan menemui kendala, sekali lagi karena kebanyakan bahan baku penolongnya ini masih impor dan menggunakan mata uang dolar ya,” ujar dia. 

Tak hanya itu, perbankan nasional juga akan mengalami kondisi serupa. Sebab, pembiayaan dan hal lainnya masih banyak mengenal mata uang asing.

Sehingga, dikhawatirkan bakal terjadi kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL). NPL sendiri ikut berdampak negatif tidak hanya bagi lembaga keuangan, namun juga terhadap perekonomian. 

“Dan juga kita lihat nanti juga di perbankan, kita lihat dari segi pembiayaan dan lain-lain itu masih banyak mengenal mata uang asing, jadi kita khawatir dari sisi NPL-nya juga, itu juga harus dijaga,” kata Shinta.

“Jadi kami melihat tidak banyak yang harus dilakukan untuk intervensi karena ini kan penyebabnya itu kan faktor luar ya, di luar kendali kita, ya tetap pemerintah harus membantu agar menstabilkan Rupiah ini,” katanya.

(YNA)

SHARE