ECONOMICS

Selain Tekstil, Ekspor Enam Industri Ini Bakal Tertekan Tarif Resiprokal AS 

Nia Deviyana 19/04/2025 18:30 WIB

Penerapan tarif resiprokal 32 persen oleh Amerika Serikat (AS) berpotensi menghajar kinerja ekspor Indonesia di berbagai sektor vital. 

Selain Tekstil, Ekspor Lima Industri Ini Bakal Tertekan Tarif Resiprokal AS . Foto: iNews Media Group.

IDXChannel - Penerapan tarif resiprokal 32 persen oleh Amerika Serikat (AS) berpotensi menekan kinerja ekspor Indonesia di berbagai sektor vital. 

Riset terbaru Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia betajuk "Manuver Strategis Indonesia Menghadapi Badai Tarif Resiprokal" memetakan industri-industri yang bakal menghadapi tekanan dari adanya kebijakan tarif ini.

Berikut rangkumannya:

1. Industri Tekstil dan Garmen

Industri tekstil dan garmen berada di garis depan keterpaparan ini, dengan tarif AS untuk produk pakaian Indonesia yang sudah mencapai 11–14,7 persen sebelum tambahan 32 persen. 

Dengan 61 persen ekspor pakaian Indonesia bergantung pada pasar AS, industri ini praktis terperangkap dalam dilema ketergantungan yang berbahaya. 

Reputasi produk garmen Indonesia yang selama ini dibangun atas dasar keseimbangan kualitas dan harga kompetitif kini terancam terguncang oleh lonjakan tarif yang dapat mengeliminasinya dari persaingan global.

2. Sektor Alas Kaki

Sektor alas kaki Indonesia menghadapi tantangan yang tidak kalah berat, dengan nilai ekspor ke AS mencapai USD1,9 miliar pada 2023. Tarif dasar 11,4 persen untuk alas kaki kulit dan tekstil, ditambah tarif resiprokal 32 persen, akan menciptakan hambatan komersial yang nyaris mustahil diatasi. 

Industri yang telah membangun rantai nilai kokoh dari komponen dasar hingga produk jadi ini kini menghadapi risiko kehancuran pasar. 

Sebagai industri padat karya, guncangan pada sektor alas kaki akan langsung menimbulkan gelombang pengangguran yang mengkhawatirkan.

3. Industri Furnitur

Industri furnitur Indonesia, dengan 57 persen ekspornya bergantung pada AS, tidak luput dari ancaman ini. 

Sektor yang secara eksplisit masuk dalam daftar pengenaan tarif ini terkenal dengan keunggulan desain dan bahan alami, namun kenaikan harga drastis akibat tarif berpotensi menghapus keunggulan kompetitifnya di pasar Amerika.

4. Industri Karet

Eksportir karet Indonesia juga berada dalam zona bahaya, dengan 49,7 persen ekspor ban karet dan 23,2 persen ekspor karet alam ditujukan ke AS. 

Setelah berinvestasi besar dalam pengembangan kapasitas dan peningkatan kualitas, industri ini kini terancam kehilangan posisi kompetitifnya akibat lonjakan harga yang dipicu oleh tarif tambahan.

5. Industri Makanan dan Minuman 

Sektor makanan dan minuman Indonesia juga terjebak dalam pusaran dampak tarif ini. 

Produk unggulan seperti kopi, kelapa, kakao, minyak sawit, dan produk perikanan yang menjadikan AS sebagai pasar utama kini menghadapi ketidakpastian. 

"Kompleksitas situasi ini diperparah oleh ketergantungan timbal balik, di mana Indonesia juga mengimpor bahan baku penting dari AS seperti gandum, kedelai, dan susu. Ketegangan dagang berpotensi merusak rantai pasok dua arah yang telah terbangun selama bertahun-tahun," ujar Research Associate Professor CORE Indonesia, Sahara, melalui keterangan tertulis, Sabtu (19/4/2025). 


6. Industri Elektronik

Industri elektronik dan peralatan listrik Indonesia, dengan 63,3 persen ekspornya terarah ke AS, menghadapi prospek yang mengkhawatirkan. 

Sektor yang telah berkembang menjadi kontributor utama dalam ekspor berteknologi menengah Indonesia ini terintegrasi dalam rantai pasok global. 

Gangguan akibat tarif tidak hanya akan memukul industri elektronik, tetapi juga merambat ke industri hulu seperti logam dan plastik, menciptakan efek domino yang merusak seluruh ekosistem manufaktur.

Meskipun totalnya hanya 9 persen dari keseluruhan ekspor Indonesia, konsentrasi dampak pada sektor-sektor padat karya ini berpotensi menciptakan krisis ketenagakerjaan yang substansial. 

"Efek berantai pada rantai pasok domestik dapat menimbulkan gelombang gangguan ekonomi yang melampaui angka statistik, menuntut respons strategis yang cepat dan tepat dari pemerintah Indonesia," ujar Sahara.


(NIA DEVIYANA)

SHARE