Sembako Kena Pajak, YLKI: Tidak BeretikaÂ
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan bahwa tidak beretika jika PPN 12% dikenakan pada sembako masyarakat.
IDXChannel - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan bahwa tidak beretika jika PPN 12% dikenakan kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat, terlebih pada masyarakat menengah kebawah. Bahkan, meski dikenai pajak 1-2% untuk kebutuhan masyarakat tersebut, dia menilai bahwa hal itu tetap tidak pantas dilakukan.
"Karena komponen harga dalam satu komoditas bukan hanya soal pajak, tapi juga efek-efek psikologis yang lain, sehingga sering pemerintah gagal mengantisipasi soal pasokan, distribusi yang kacau di lapangan, adanya pungli, sehingga terakumulasi," ujar Tulus dalam Polemik MNC Trijaya "Publik Teriak, Sembako Dipajak," di Jakarta, Sabtu (12/6/2021).
Dia mengatakan, jangan sampai pajak 1-2% sekali pun menjadi beban karena terakumulasi dengan komponen-komponen efisiensi yang lain yang sampai detik ini tidak bisa dituntaskan.
"Pungli-pungli itu terbukti masih ada, dan menjadi ongkos tambahan dalam komoditas pangan kita. Jadi, jangan sampai itu jadi beban berat bagi masyarakat dan memukul daya beli, sekalipun akan diterapkan pada termin setelah Pak Jokowi," ungkap Tulus.
Dari sisi konstruksi, berbicara soal akan PPN dikenakan pada alat-alat dan jasa kesehatan. Dia bercerita bahwa dirinya di YLKI pernah didatangi oleh komunitas kesehatan yang meminta pajak-pajak alat kesehatan dihapuskan, jangan dikenai pajak barang mewah.
"Ini kalau dikenai lagi PPN dan segala macam, makin berat karena pajak-pajak itu akhirnya dibebankan kepada pasien, pasien harus membayar lebih. Misal pasien tidak harus dironsen tapi malah dironsen untuk mengembalikan investasi, itu mereka mengatakan di negara maju yang kapitalistik bahkan alkes tidak dikenai pajak," tambah Tulus.
Objek-objek besar pajak, menurut Tulus, harus dielaborasi secara lebih komprehensif sehingga bisa menghasilkan imbas yang lebih besar.
"Mungkin dalam konstruksi ini, jangan serta merta menggunakan rezim ekonomi finansial, tapi juga menggandeng rezim kesehatan, lingkungan, atau yang lain. Ajaklah Kemenkes, BPJS Kesehatan, karena ada penyakit-penyakit yang juga muncul karena produk-produk tidak sehat yang dikonsumsi masyarakat," terang Tulus.
Dia berpesan, pajak seharusnya dijadikan instrumen pengendali agar masyarakat Indonesia lebih sehat, seperti cukai rokok, makanan dengan kadar gula, garam, dan lemak tinggi, termasuk penggunaan plastik untuk kemasan.
"Sehingga punya dimensi lebih luas, uangnya dapat, tapi juga lebih bermanfaat. Di lapangan, takutnya satu individual terkena baik PPN dan PPh, sehingga itu nantinya bisa jadi tidak fair karena duplikasi. Kategori orang mampu ya PPh, PPN itu kepada barangnya, bukan orangnya," pungkas Tulus.
(IND)