ECONOMICS

Sirop Obat Telan Korban, Saatnya Benah-Benah BPOM dan Industri Farmasi

Maulina Ulfa - Riset 25/10/2022 14:46 WIB

Di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti, keselamatan konsumen harus tetap dinomor satukan apabila menyangkut kualitas bahan baku produk obat.

Sirop Obat Telan Korban, Saatnya Benah-Benah BPOM dan Industri Farmasi. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak di Indonesia menyisakan tangis pilu para orang tua yang terpaksa kehilangan buah hatinya.

Kelalaian industri farmasi dalam menyediakan obat yang aman bagi konsumen pun kini disorot.

Teranyar, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan menyeret dua industri farmasi ke arah pidana. Alasannya, dikarenakan kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) sangat tinggi pada obat yang diproduksi keduanya.

"Yang penting juga dalam proses ini kami sudah mendapatkan dua industri farmasi yang akan kami tindaklanjuti menjadi pidana," kata Kepala BPOM Penny K Lukito dalam keterangan persnya yang disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (24/10/2022).

Penny telah menugaskan kedeputian IV BPOM untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap dua industri farmasi tersebut bersama dengan pihak kepolisian. Saat ini, katanya, kedua industri farmasi dalam proses penyidikan.

"Karena ada indikasinya bahwa kandungan dari EG dan DEG di produknya itu tidak hanya dalam konsentrasi sebagai kontaminan, tapi sangat-sangat tinggi. Dan tentu saja sangat toxic dan itu bisa cepat diduga bisa mengakibatkan ginjal akut dalam hal ini," jelasnya.

Namun, Penny belum mau menyebutkan siapa saja dua industri farmasi yang akan dipidanakannya. Dirinya berjanji akan menyampaikan secara detail kepada masyarakat dalam waktu dekat.

"Sehingga untuk dua, dua industri farmasi, mungkin saya tidak menyebutkan sekarang karena prosesnya masih berlangsung dan akan segera nanti tentu akan kami komunikasikan kepada masyarakat," tandas Penny.

Melihat Kasus di Gambia

Indonesia menuai sorotan setelah kematian sejumlah sekitar 133 anak akibat obat sirup yang menyebabkan gagal ginjal akut.

Sebagai perbandingan, Gambia juga baru saja mengalami kejadian serupa di mana obat sirup yang dikonsumsi anak-anak menelan korban hingga 66 anak akibat gagal ginjal akut.

Disinyalir cemaran yang sama juga ditemukan dalam kandungan obat sirup yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di atas ambang batas.

Empat obat yang terkait dengan kematian di Gambia diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals, sebuah perusahaan yang berbasis di New Delhi, India yang mengekspor obat-obatan ke seluruh negara berkembang.

Direktur Badan Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan penyelidikan pada 5 Oktober lalu.

WHO juga mengatakan bahwa analisis dari empat obat telah menemukan jumlah etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang beracun bagi manusia dan dapat menyebabkan cedera serius atau kematian pada anak-anak.

Sebagai negara emerging markets dan salah satu titik cerah ekonomi dunia, kasus keracunan akibat dua senyawa kimia menjadi ironi tersendiri bagi Indonesia. Pengawasan obat di Tanah Air tak ubahnya seperti di negara berkembang layaknya Gambia.

Kasus ini membuat sistem pengawasan obat di RI disorot.

Dikutip dari laman resmi BPOM, beberapa daftar obat sirup yang dilarang dan ditarik dari peredaran karena terkontaminasi senyawa beracun tersebut di antaranya Termorex Sirup produksi PT Konimex dengan nomor izin edar DBL7813003537A1 dan Flurin DMP Sirup produksi PT Yarindo Farmatama dengan nomor izin edar DTL0332708637A1

Ada juga merk Unibebi Cough Sirup dengan nomor izin edar DTL7226303037A1, Unibebi Demam Sirup nomor izin edar DBL8726301237A1, dan Unibebi Demam Drops nomor izin edar DBL1926303336A1 yang semuanya produksi Universal Pharmaceutical Industries.

Jika merujuk data BPOM, ada sekitar 243 perusahaan farmasi yang terdaftar dan memiliki sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari BPOM per Maret 2022.

Sementara itu, berdasarkan pasal 3 Peraturan Presiden (Perpres) No.80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM mempunyai fungsi pengawasan dan penegakan hukum.

Adapun BPOM harus melakukan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar sebagai tindakan pencegahan untuk menjamin obat dan makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan.

Namun, Inspektur Utama BPOM, Elin Herlina mengatakan, pihak yang menjadi penanggung jawab atas keamanan, mutu, dan khasiat obat yang beredar di masyarakat adalah bagian industri farmasi.

"Kami tekankan kembali, di dalam UU tertulis bahwa tanggung jawab industri adalah memberikan jaminan memproduksi dan mengedarkan produk obat yang aman, bermutu, dan berkhasiat," kata Elin dalam keterangan pers di Kemenkes RI, Jumat (21/10/2022).

Di Amerika Serikat (AS), ada Food and Drug Administration (FDA) yang mengatur kualitas obat-obatan dengan sangat hati-hati.

Standar peraturan utama untuk memastikan kualitas farmasi diatur dalam Current Good Manufacturing Practice (CGMPs) untuk obat-obatan yang digunakan manusia.

Setiap batch obat yang produksi dipastikan memenuhi standar mutu oleh FDA sehingga aman dan efektif.

Seberapa Besar Industri Farmasi RI?

Kekacauan yang ditimbulkan industri farmasi RI membuat sektor ini juga disorot. Salah satunya adalah pengawasan penjualan obat online yang ternyata memiliki pangsa pasar cukup besar.

Bak pisau bermata dua, di satu sisi penjualan obat bebas online ini mempunyai risiko keamanan yang tinggi. Terutama terkait penjaminan mutu dan keamanan produk. Namun di sisi lain, potensi ekonominya juga cukup besar.

Era digitalisasi memang menempatkan konsumen dapat secara bebas membeli obat-obatan, termasuk di marketplace dan toko online.

Berdasarkan riset yang dilakukan Statista, pendapatan di segmen apotek online di Indonesia diproyeksikan mencapai USD0,42 miliar pada tahun 2022.

Apotek online ini mencakup obat bebas yang dapat dibeli tanpa resep medis melalui saluran penjualan online.

Segmen ini terdiri dari analgesik, obat pilek dan batuk, obat pencernaan dan usus, produk perawatan kulit, serta vitamin dan mineral.

Pendapatan dari apotek online ini diproyeksikan bertumbuh secara tahunan (CAGR 2022-2027) sebesar 17,04%. Adapun proyeksi pangsa pasar akan mencapai USD0,93 miliar pada tahun 2027.

Proyeksi Pendapatan Penjualan Obat Online Hingga 2027

Sumber: Statista

Penetrasi konsumen obat online ini akan menjadi 13,62% pada tahun 2022 dan diperkirakan akan mencapai 20,36% pada tahun 2027.

Pendapatan rata-rata per pengguna atau average revenue per user (ARPU) diperkirakan mencapai USD11,12.

Sebagai perbandingan global, penyumbang pendapatan apotek online adalah China mencapai USD6,97 juta pada tahun ini.

Beberapa saham emiten farmasi juga tidak terlalu menunjukkan kinerja membanggakan di bursa saham.

Hingga Selasa (25/10) dalam penutupan sesi pertama, penurunan terbesar dicatatkan oleh PT Indofarma Tbk (INAF) sebesar 56,95% secara year to date (ytd).

Disusul PT Kimia Farma Tbk (KAEF) sebesar 50,21%, PT Phapros Tbk (PEHA) 25,34%, dan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) 17,92%. 

Adapun yang mencatatkan kenaikan di antaranya PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dengan menjaga kinerja sahamnya naik 25,70%. Sementara PT. Merck Tbk (MERK) juga mencatatkan kenaikan kinerja sahamnya dengan pertumbuhan 37,53%.

Sementara kapitalisasi pasar farmasi terbesar masih dikuasai oleh PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dengan nilai mencapai Rp96,09 triliun. (Lihat grafik di bawah ini)

Kelalaian industri farmasi yang menelan korban jiwa ini memaksa sektor ini untuk berbenah. Di tengah kondisi ekonomi yang tidak pasti, keselamatan konsumen harus tetap dinomor satukan apabila menyangkut kualitas bahan baku produk.

Karena produk farmasi tidak sama dengan makanan pada umumnya yang bisa secara bebas dikonsumsi tanpa melihat efek sampingnya. (ADF)

SHARE