ECONOMICS

Tak Perlu Tunggu Usia 56 Tahun, Investasi Ini Bisa Jadi JHT Buat Anda

Athika Rahma 20/02/2022 17:03 WIB

Sebenarnya, kita bisa membuat 'JHT sendiri' tanpa perlu menunggu dana tersebut cair di usia tua. Caranya, dengan melakukan perencanaan keuangan dengan cermat.

Tak Perlu Tunggu Usia 56 Tahun, Investasi Ini Bisa Jadi JHT Buat Anda. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Langkah pemerintah mengubah aturan waktu pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) menuai protes dari kalangan pekerja. JHT yang baru bisa diklaim 100% saat peserta berusia 56 tahun, dinilai merugikan korban PHK atau mengundurkan diri karena alasan tertentu sebelum usia 56 tahun.

Pemerintah beralasan, aturan baru ini mengembalikan marwah JHT sesungguhnya, yang ditunjukkan untuk masa pensiun. Jika pekerja terkena PHK, maka pemerintah akan melindunginya dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Sebenarnya, kita bisa membuat 'JHT sendiri' tanpa perlu menunggu dana tersebut cair di usia tua. Caranya, dengan melakukan perencanaan keuangan dengan cermat dan membuat dana darurat.

"Nah menyikapi hal ini, langkah apa yang bisa dimulai, tentunya menyiapkan dana kebutuhan sehari-hari kita sebelum memasuki usia 56 tahun, itu yang disebut dengan dana darurat atau menabung," ujar Perencana Keuangan Andy Nugroho kepada MNC Portal Indonesia, Minggu (20/2/2022).

Andy menjelaskan, idealnya pekerja harusnya memiliki dana darurat dengan jumlah 3-6 kali lipat dari penghasilan bulanan mereka. Jadi rata-rata, pekerja bisa menyisihkan gaji 10% untuk dana darurat ini.

"Misalnya gaji Rp 5 juta, berarti tabungan atau dana darurat ini harus ada minimal Rp 15 juta. Tujuannya, misalnya kita pengen resign bikin bisnis, harus berhenti dari tempat kerja jadi uang ini bisa memenuhi kebutuhan minimal 3 bulan sambil menunggu pekerjaan lain atau bisnis berkembang," kata Andy.

Nantinya, jika dana ini tidak digunakan pun bisa disimpan untuk menambah kebutuhan atau keperluan lain. Andy juga menyarankan untuk menginvestasikan uang darurat ini.

"Misalnya reksa dana pendapatan tetap, atau campuran atau pasar saham, lalu logam mulia. Porsinya bisa 35% reksa dana, 35% logam mulia, selebihnya disimpan sebagai uang tunai," ujarnya.

Namun, Andy tidak menyarankan investasi dilakukan di instrumen yang tidak likuid, seperti properti, tanah dan lainnya. "Meskipun nilainya cukup menjanjikan untuk jangka panjang, tapi untuk dijual lagi itu butuh waktu yang cukup lama," katanya. (TYO)

SHARE