Tarif AS Bebani Ekspor Furnitur, Pelaku Industri Didorong Ekspansi ke Pasar Nontradisional
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong pelaku industri kecil dan menengah (IKM) sektor furnitur dapat merambah pasar nontradisional.
IDXChannel - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong pelaku industri kecil dan menengah (IKM) sektor furnitur dapat merambah pasar nontradisional. Langkah ini menjadi penting mengingat perubahan kondisi ekonomi global dapat memengaruhi performa ekspor furnitur nasional.
"Diperlukan strategi khusus untuk memperluas pasar baru nontradisional, di luar Amerika Serikat (AS), seperti Eropa Timur, Timur Tengah, Amerika Latin, hingga negara-negara Asia seperti India dan Jepang. Namun perlu diingat, dalam memasuki pasar Eropa misalnya, pelaku industri harus memperhatikan tidak hanya kualitas desain tetapi juga kepatuhan terhadap standar keamanan dan lingkungan,” ujar Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Reni Yanita dalam keterangannya, Selasa (25/11/2025).
Meskipun kinerjanya cukup kuat, lanjut Reni, industri furnitur nasional tak lepas dari pengaruh dinamika global. Salah satu tantangan terbesar adalah kebijakan tarif resiprokal Pemerintah AS yang diterapkan kepada banyak negara, termasuk Indonesia.
Per 26 September 2025, tarif sebesar 50 persen dikenakan untuk produk lemari dapur dan meja rias kamar mandi, sedangkan furnitur berlapis kain dikenakan tarif 30 persen.
"Kebijakan ini memberikan dampak berantai terhadap sektor industri. Beberapa IKM telah melaporkan penundaan pesanan dari pembeli Amerika serta kenaikan biaya logistik,” tutur Reni.
Sebagai respons, Ditjen IKMA membuka peluang pasar alternatif melalui diplomasi, negosiasi, serta penguatan kapasitas pelaku IKM. Edukasi diberikan agar IKM mampu memahami standar mutu dan keamanan di negara tujuan, termasuk pemilihan bahan baku ramah lingkungan.
"Pemilihan bahan finishing menjadi sangat penting. Negara seperti Jerman, Belanda, dan Kanada memberlakukan regulasi ketat terkait emisi senyawa kimia berbahaya seperti VOC (Volatile Organic Compound). Ada pula standar formaldehida EPA, Sertifikasi ECO Mark dari Jepang, hingga sertifikasi Dubai Central Laboratory (DCL)," kata Reni.
Nilai ekspor furnitur mencapai USD0,92 miliar hingga triwulan II-2025, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD0,91 miliar. Adapun AS masih menjadi pasar terbesar dengan capaian 54,6 persen.
Sementara itu, industri kerajinan turut mencatatkan kinerja positif dengan nilai ekspor sebesar USD173,49 juta pada triwulan II-2025, tumbuh 9,11 persen secara tahunan.
(NIA DEVIYANA)