ECONOMICS

The Fed Kembali Naikkan Suku Bunga, Ini Pendapat Para Ekonom

Viola Triamanda/MPI 22/09/2022 12:53 WIB

The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bps) atau 0,75 persen.

The Fed Kembali Naikkan Suku Bunga, Ini Pendapat Para Ekonom (FOTO: Reuters)

IDXChannel - Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bps) atau 0,75 persen. Keputusan ini merupakan yang ketiga berturut-turut dilakukan The Fed.

Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan bahwa Indonesia tentu akan turut merasakan dampak akibat kenaikan suku bunga the fed. Menurutnya nilai tukar rupiah akan merosot, begitu pula nilai saham yang juga akan turun seiring penurunan laba karena efek minimnya penjualan dan tingginya biaya. 

"Selain itu akan ada penurunan konsumsi karena pasti akan mengurangi daya beli, dalam jangka panjang" jelasnya kepada MPI, Kamis (22/9/22).

Kemudian lanjut Amin, kemungkinan kesulitan untuk membayar pinjaman akan melanda masyarakat Indonesia mengingat jika Bank Indonesia turut menaikkan interest rate.

"Jadi akan ada efek ke para debitur dalam jngka panjang" ucapnya. 

Selaras, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah juga menyatakan bahwa kenaikan suku bunga the fed berpotensi mendorong arus modal keluar dan melemahkan rupiah jikalau BI tidak merespon kenaikan suku bunga the Fed ini dengan menaikkan suku bunga acuan BI7DRR. 

Oleh karena itu dia memperkirakan bahwa BI akan segera kembali menaikkan suku bunga acuan sebagai respon atas kenaikan suku bunga acuan the fed, dan juga lonjakan inflasi pasca kenaikan harga bbm subsidi. 


"Saya perkirakan akan menaikkan suku bunga acuan minimal 50 bps maksimal 75 bps" jelasnya. 

Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menyatakan bahwa kenaikan suku bunga The Fed  lebih berdampak buruk terhadap ekonomi Indonesia dibanding dampak positif. 

Karena menurutnya yang pertama, kenaikan fed rate memicu naiknya biaya pinjaman untuk investasi di negara berkembang. Dia melanjutkan bahwa selama ini investor negara maju meminjam uang dengan bunga rendah untuk di investasikan ke instrumen keuangan negara berkembang. 

"Jika bunga di negara maju naik, maka investor akan menuntut imbal hasil lebih tinggi di negara berkembang. Memicu keluarnya modal asing dan berisiko ke stabilitas keuangan" ucapnya. 

Kedua, naiknya bunga acuan Fed yang agresif menimbulkan respon atas penyesuaian bunga acuan di berbagai negara sehingga pelaku usaha dan konsumen perlu bayar bunga pinjaman lebih mahal.

Ketiga, naiknya Fed rate merespon inflasi di AS yang tinggi. Masalahnya inflasi AS lebih disebabkan supply shock, sementara kenaikan sisi permintaan masih belum optimal. Ujungnya adalah bunga naik, permintaan ekspor di AS berisiko melemah.

Kalau Fed rate naik 50-75 basis poin lagi lanjut Bhima, maka BI mungkin perlu naikan bunga acuan 50 bps atau 0.5% untuk jaga rupiah tidak melemah terhadap dollar AS. 

"Disisi lain mitigasi terhadap pelambatan penyaluran kredit dan naiknya risiko kredit macet harus diantisipasi. BI tidak bisa sendirian harus sinergi dengan pemerintah,” tutup Bhima. (RRD)

SHARE