Ubah FABA Jadi Limbah Non-B3, Walhi: Pemerintah Bertindak SembronoÂ
Walhi kecewa atas keputusan pemerintah untuk menghapis sisa pembakaran batubara sebagai limbah non-Bahan Berbahaya dan Beracun.
IDXChannel - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kecewa atas keputusan pemerintah untuk menghapis sisa pembakaran batubara sebagai limbah non-Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Lembaga ini meminta agar beleid yang mengatur hal tersebut segera dicabut demi menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Perubahan itu sendiri termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di mana sisa pembakaran batubara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berupa abu terbang dan abu dasar atau Fly Ash and Bottom Ash (FABA) dikategorikan sebagai non-B3.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati, menilai aturan tersebut akan meningkatkan potensi pencemaran udara dari limbah B3. Apalagi, pandemi Covid-19 di Indonesia masih belum selesai.
"Di tengah masih belum terkendalinya pandemi Covid-19 di Indonesia, pemerintah malah melonggarkan aturan yang meningkatkan potensi pencemaran udara dari limbah B3," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (15/3/2021).
Dia melanjutkan, berdasarkan penelitian Universitas Harvard, Amerika Serikat, penderita Covid-19 yang tinggal di daerah-daerah dengan pencemaran udara tinggi memiliki potensi kematian lebih tinggi dibandingkan penderita Covid-19 yang tinggal di daerah yang kurang terpolusi.
Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Walhi, Dwi Sawung, mengatakan, pemerintah seolah memberikan kesan limbah B3 hanya dapat dimanfaatkan jika dikategorikan sebagai limbah non-B3. Padahal, limbah B3 masih dapat dimanfaatkan dengan melalui berbagai pengujian karakteristik yang spesifik berdasarkan sumber masing-masing limbah B3 tersebut, sebagaimana diatur pada PP Nomor 101 tahun 2014.
"Pengubahan limbah-limbah B3 menjadi limbah non-B3 secara keseluruhan, tanpa melalui uji karakteristik setiap sumber limbah spesifik, menunjukkan pemerintah telah bertindak secara sembrono dan membebankan risiko kesehatan di pundak masyarakat," ujarnya.
Menurut dia, selama ini pemerintah belum berhasil melakukan pengawasan secara seksama, menegakkan hukum secara efektif, dan mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak pada kesehatan masyarakat.
Sebagai contoh, kasus pembuangan limbah FABA dan SBE di Panau, Sulawesi Tengah. Penimbunan FABA mengakibatkan masyarakat terkena dampak pencemaran dari abu batubara yang ditimbun sembarangan membuat gangguan pernafasan, bahkan sudah ada korban yang meninggal.
Contoh lainnya, di beberapa tempat antara lain di Kalimantan Tengah dan Jakarta, pembuangan limbah pengolahan minyak sawit mengakibatkan ikan-ikan mati dan warga mengalami gatal-gatal dan gangguan kulit. Uji sampel yang dilakukan selama ini oleh pihak berwenang tidak pernah diperlihatkan hasilnya, dan dilakukan tanpa melibatkan masyarakat terdampak pencemaran tersebut.
"PP No.22/2021 ini lebih lanjut juga akan membuat masyarakat yang selama ini menggunakan instrumen aturan pengelolaan limbah B3 untuk menahan atau melawan pencemaran lingkungan menjadi lebih sulit, karena secara peraturan limbah B3 tersebut sudah menjadi limbah non-B3," tandasnya. (TYO)