ECONOMICS

Utang Indonesia Membengkak, Ekonom: Jadi Warisan ke Pemerintahan Berikutnya

Advenia Elisabeth/MPI 06/01/2023 10:01 WIB

Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah mencapai Rp7.554,2 triliun dengan rasio utang mencapai 38,6 persen dari PDB.

Utang Indonesia Membengkak, Ekonom: Jadi Warisan ke Pemerintahan Berikutnya (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Ekonom senior INDEF Didik Rachbini menyebut, utang pemerintah yang terus membengkak di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan menjadi warisan bagi pemerintahan berikutnya.

Pada November 2022, Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah mencapai Rp7.554,2 triliun dengan rasio utang mencapai 38,6 persen dari PDB.

Jika dibandingkan dengan pada posisi utang 2014, di masa terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), posisi utang pemerintah sebesar Rp2.608,78 triliun.

“2014 posisi utang itu Rp2.600-an (triliun), ini SBY diserang habis-habisan dalam kampanye hingga di hari-hari biasa. Sampai November 2022 utangnya itu Rp7.500-an (triliun),” ujar Didik dalam diskusi INDEF, Kamis (5/1/2023).

Didik menerangkan, utang Indonesia yang tercatat di Kementerian Keuangan itu belum termasuk dengan perusahaan-perusahaan BUMN. Jika ditotal menyeluruh, maka jumlahnya akan melejit. 

Dengan itu, menurut Didik ketika masa jabatan Presiden Jokowi habis, maka akan mewariskan jumlah utang yang fantastis untuk sosok pemimpin Indonesia berikutnya. 

“Ditambah BUMN Rp2.000-Rp3.000 (triliun), itu belasan triliun utang yang diwariskan pada pemimpin akan datang,” tuturnya.

Menurut Didik, dirinya sudah sering berbicara mengenai porsi utang pemerintahan Presiden Jokowi. Namun sayang seribu sayang, kritik pedas tersebut sama sekali tak disambut baik. Padahal, kata dia, lonjakan utang tersebut akan berimplikasi pada pengelolaan keuangan negara.

“Saya banyak berteriak soal ini, tapi tidak terlalu diperhatikan. Implikasinya kepada APBN ke depan yang akan habis untuk membayar utang,” tegasnya.

Lebih jauh, melonjaknya utang pada masa pemerintahan Jokowi terjadi saat masa-masa Covid-19. Saat itu pemerintah jor-joran mengeluarkan Perppu yang menambahkan defisit anggaran.

“Awal Covid-19 itu sumber justifikasi krisis otoriter dilakukan dan DPR enggak bisa apa-apa dengan Perppu,” ujar Didik.

Di samping itu, Didik pun tak bisa menangkis bahwa sebenarnya ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan. Hanya saja yang disayangkan terlalu banyak kongkalikong yang membuat fungsi check dan balance di DPR menjadi sangat lemah.

“Ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan. Ada fakta berdasarkan defisit anggaran terjadi karena perencanaan anggaran kurang matang. Perkembangan utang meningkat akhirnya kondisi politik merusak demokrasi di Indonesia,” tandasnya.

(DES)

SHARE