UU Perlindungan Data Pribadi Sah Diketok, Berapa Anggaran Keamanan Data RI?
Ancaman kebocoran data makin besar, anggaran keamanan siber semakin mengecil.
IDXChannel - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan rancangan undang-undang tentang pelindungan data pribadi (RUU PDP) menjadi undang-undang (UU). Pengesahan tersebut diputuskan dalam rapat paripurna yang digelar pagi ini, Selasa (20/9).
Pengambilan keputusan tingkat II ini dipimpin langsung oleh Wakil Ketua DPR RI, Lodewijk F Paulus hari ini (20/9/2022) di Gedung DPR. Pengesahan didahului dengan menanyakan sikap fraksi atas RUU PDP tersebut.
"Kami akan menanyakan kepada setiap fraksi apakah rancangan undang-undang tentang pelindungan data pribadi dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" tanya Lodewijk.
Sebelum dibawa ke rapat paripurna hari ini, RUU PDP sebelumnya telah dibahas dan disetujui pada tingkat I di Komisi I DPR RI. Diketahui, pembahasan RUU PDP ini sudah dilakukan sekitar dua tahun lebih.
Sebelum pengambilan keputusan, Wakil Ketua Komisi I DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PDP, Abdul Kharis Almasyhari melaporkan bahwa Panja telah menyelesaikan pembahasan total 371 daftar inventarisir masalah (DIM) tentang RUU PDP pada tanggal 25 Agustus 2022.
Kharis juga menyampaikan, setelah melalui pembahasan dalam rapat Panja RUU tentang PDP telah terjadi perubahan sistematika RUU dari draf awal yang disampaikan pemerintah.
"Yang semula sistematika RUU tentang PDP terdiri dari 15 bab dan 72 pasal, menjadi 16 bab dan 76 pasal," ujar Kharis dalam laporannya.
Meskipun telah ada ketentuan hukum yang menatur perlindungan data di RI, seberapa banyak sebenarnya anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk keamanan siber dan mencegah serangan ransomware dan juga hacker?
Ancaman Makin Besar, Anggaran Makin 'Seiprit'
Mengutip laman Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), data UNCTAD pada tahun 2021 memproyeksikan, peningkatan lalu lintas data bulanan global sebesar 780 exabytes per bulan di tahun 2026. Angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam kurun waktu 6 tahun.
Seiring dengan peningkatan arus data yang eksponensial ini, risiko serangan siber pun ikut meningkat.
Mengutip Forbes, di tahun 2021 rata-rata jumlah serangan siber dan pelanggaran data global meningkat 15,1% dari tahun sebelumnya.
Selama dua tahun ke depan, para eksekutif keamanan yang disurvei oleh ThoughtLab melihat peningkatan serangan dari rekayasa sosial dan ransomware saat negara-bangsa dan penjahat dunia maya atau hacker tumbuh lebih canggih.
Penyebab utama serangan ini akan datang dari kesalahan konfigurasi, kesalahan manusia, pemeliharaan yang buruk, dan aset yang tidak diketahui.
Sayangnya, makin besar ancaman, anggaran keamanan siber malah semakin mengecil. Ini dilihat dari postur anggaran dalam RAPBN. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, anggaran keamanan dan pertahanan siber pemerintah hanya sebesar Rp126,2 miliar pada 2022.
Angka tersebut susut Rp659,2 miliar atau hanya sekitar 83,93% dari tahun sebelumnya sebesar Rp785,4 miliar. Sementara dalam RAPBN 2023, pemerintah mengalokasikan dana Rp504 miliar untuk menjaga keamanan dan ketahanan siber. (Lihat tabel di bawah)
Dibandingkan dengan negara adi daya seperti Amerika Serikat (AS), anggaran siber kita kalah jauh.
Untuk Tahun Anggaran (TA) 2022 saja, Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) menganggarkan USD 2,6 miliar untuk keamanan sibernya.
Angka ini menjadikannya anggaran terbesar di antara lembaga pemerintah lainnya di luar anggaran Departemen Pertahanan. Pengeluaran keamanan siber dari Departemen Pertahanan (DoD) tidak dilaporkan dalam perkiraan 2023 dari pengeluaran keamanan siber pemerintah AS.
Pengeluaran keamanan siber secara keseluruhan di Amerika Serikat diproyeksikan meningkat pada tahun 2023 dengan total USD10,46 miliar atau setara Rp 157 triliun (Kurs Rp 15.020), mengutip Statista.
Sebagai salah satu populasi digital terbesar di seluruh dunia, AS melaporkan hampir 60 persen pengguna online di negara tersebut pernah mengalami serangan dunia maya pada 2021.
Hal ini menempatkannya sebagai negara ketiga di dunia sebagai pangsa kejahatan dunia maya. Dalam laporan terbaru tahun ini, sekitar 294 juta pengguna internet di AS terkena dampak insiden pelanggaran data.
Kondisi ini tidak jauh beda dengan yang terjadi di Indonesia di mana kebocoran data selalu terjadi berulang-ulang. Namun, penanganan dari pemerintah dirasa masih belum maksimal dalam menyelesaikan soal kebocoran data. (ADF)