Wamenperin Dukung Menkeu Purbaya Soal Tarif Cukai Rokok, Ini Alasannya
Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza mendukung keputusan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa yang tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026.
IDXCHannel - Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mendukung keputusan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa yang tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026. Menurutnya, tarif cukai rokok yang tinggi dapat mendorong maraknya peredaran rokok ilegal.
“Tarif cukai memang harus digunakan sebagai instrumen pengendalian konsumsi, terutama agar tidak mudah diakses anak-anak. Namun, kenaikan tarif yang terus menerus berisiko menekan kinerja industri legal dan mendorong maraknya peredaran rokok ilegal,” kata Wamenperin pada acara diskusi Quo Vadis Perlindungan Industri Hasil Tembakau (IHT)di Jakarta, Senin (29/9/2025).
Faisol menambahkan, sejak 2020 hingga 2024 tarif cukai naik berturut-turut sebesar 23 persen, 12,5 persen, 12 persen, 10 persen, dan 10 persen, serta diikuti kenaikan harga jual eceran.
“Akibatnya, rokok ilegal kini semakin masif beredar di masyarakat dan merugikan industri yang patuh membayar cukai,” ujarnya.
Selain itu, kebijakan non-fiskal seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan UU Kesehatan juga menjadi sorotan karena sejumlah ketentuannya akan berlaku penuh mulai Juli 2026.
Dengan ruang gerak industri yang semakin terbatas, Faisol mengingatkan bahwa keberlangsungan IHT berkaitan langsung dengan sekitar enam juta tenaga kerja. Karena itu, Ia mengapresiasi pernyataan Menteri Keuangan yang memastikan tarif cukai hasil tembakau tidak akan naik tahun depan.
“Kami berharap kebijakan IHT ke depan lebih komprehensif, mempertimbangkan aspek kesehatan sekaligus aspek ekonomi. Terlebih, tingginya peredaran rokok ilegal harus menjadi variabel penting dalam perumusan kebijakan,” katanya.
Faisol menegaskan IHT merupakan salah satu sektor strategis yang berperan penting bagi perekonomian nasional. Selain memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara, sektor ini juga menyerap jutaan tenaga kerja dari hulu hingga hilir.
“Kontribusi Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun 2024 mencapai Rp216,9 triliun dan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 5,98 juta orang. Tidak hanya itu, pada 2024 nilai ekspor produk hasil tembakau mencapai USD1,85 miliar atau meningkat 21,71% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini bukti nyata peran penting IHT,” ungkapnya.
Menurut Faisol, ekosistem pertembakauan di Indonesia sudah terbentuk sejak zaman kolonial Belanda dan hingga kini masih menjadi penopang kehidupan jutaan masyarakat.
Mulai dari petani tembakau, perajang, petani cengkeh, buruh pabrik rokok, pedagang, hingga eksportir, semuanya merupakan bagian dari rantai nilai IHT yang harus dijaga keberlanjutannya.
“Struktur industrinya juga sangat lengkap. Kita memiliki industri pengeringan tembakau, kertas rokok, filter, bumbu, sigaret kretek tangan dan mesin, rokok putih, cerutu, hingga laboratorium bertaraf internasional. Ini menunjukkan IHT sudah mandiri dan mampu menjadi penopang ekspor nasional,” tuturnya.
Dengan basis industri yang kuat dan dukungan faktor lokasi strategis dan kualitas produk, Indonesia kini menempati peringkat ke-4 eksportir hasil tembakau dunia.
“Ke depan, kami optimistis ekspor produk IHT akan terus meningkat,” kata Faisol.
Meski begitu, Wamenperin mengingatkan bahwa produk IHT juga memiliki eksternalitas negatif, khususnya terkait risiko kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan fiskal maupun non-fiskal yang tepat dan berimbang.