Yakin Bisa Manfaatkan Kondisi Perang Dagang AS-China, Begini Strategi Pemerintah
saat ini Indonesia telah mengikuti Indo-Pacific Economic Framework (IPEF), yang salah satunya mengatur kesepakatan terkait Supply Chains Agreement.
IDXChannel - Pemerintah Indonesia optimistis dapat mengatasi dampak dari kondisi global terkait perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Bahkan, tak hanya memitigasi dampak yang berpotensi muncul, pemerintah juga merasa yakin dapat memanfaatkan kondisi tersebut, dan mengambil keuntungan dari situasi yang terjadi.
"Kita berada pada suasana yang bisa kita manfaatkan, karena ada perang ekonomi antara China dan AS. Di mana kita tahu AS mulai melarang produk China masuk ke negaranya," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, Rabu (14/6/2023).
Menurut Airlangga, saat ini Indonesia telah mengikuti Indo-Pacific Economic Framework (IPEF), yang salah satunya mengatur kesepakatan terkait Supply Chains Agreement, yang merupakan kerja sama kawasan pertama di dunia yang berfokus pada isu-isu seputar rantai pasok.
Dalam IPEF, negara-negara anggota berkomitmen untuk merealisasikan kerja sama yang akan melibatkan dunia bisnis dan program terkait dengan technical assistance and capacity building.
Hasil kerja sama tersebut diharapkan dapat meningkatkan investasi pada critical sectors, key goods, infrastruktur fisik dan digital, transportasi, dan proyek-proyek ketenagakerjaan.
"Indonesia dengan AS sudah ada pembicaraan tentang IPEF ini, yang salah satu harapannya agar fasilitas perdagangan bisa saling setara, sehingga ekspor nikel kita bisa diterima di sana," tutur Airlangga.
Dikatakan Airlangga, keberadaan IPEF saat ini telah mewakili lebih dari 40 persen ekonomi dunia dan 28 persen perdagangan barang dan jasa secara global.
Forum ini bertujuan untuk mencapai kerangka ekonomi berstandar tinggi dan inklusif di negara-negara kawasan Indo-Pasifik.
Dengan strategi memanfaatkan keberadaan IPEF ini diharapkan dapat memangkas defisit perdagangan antara AS dan China yang selama ini tidak seimbang.
Pada 2018, misalnya, tercatat bahwa defisit perdagangan antara AS dan China telah mencapai USD419,5 miliar.
Pada tahun itu, perang dagang kedua negara mulai memanas, dipicu oleh kebijakan Presiden AS saat itu, Donald Trump, yang menerapkan tarif impor pada produk-produk China yang dianggap merugikan AS.
Kebijakan tersebut dibalas oleh China dengan memberlakukan tarif impor pada produk-produk AS, yang secara bertahap memantik penerapan tarif impor di berbagai komoditas oleh kedua negara.
Tahun ini, Presiden China Xi Jinping dalam Kongres Rakyat Nasional mengakui adanya kondisi perang dagang tersebut, yang disebutnya sebagai sanksi atas hambatan dari negara lain.
Sementara, AS baru-baru ini juga membatasi China dalam teknologi semikonduktor dan Artificial Intelligent, dengan alasan keamanan nasional.
Menanggapi hal tersebut, China telah mengajukan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan sekaligus bereaksi dengan mengalokasikan sedikitnya USD140 miliar untuk meningkatkan produksi chip dalam negeri, demi membalas kebijakan AS tersebut. (TSA)