MARKET NEWS

Antisipasi Pemulihan Ekonomi China, Investor Borong Saham Barang Mewah Eropa

Maulina Ulfa - Riset 16/02/2024 16:39 WIB

Para investor dikabarkan berbondong-bondong mulai memborong saham-saham emiten barang-barang mewah Eropa dan sektor-sektor lain yang memiliki eksposur ke China.

Antisipasi Pemulihan Ekonomi China, Investor Borong Saham Barang Mewah Eropa. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Para investor dikabarkan berbondong-bondong mulai memborong saham-saham perusahaan barang mewah Eropa dan sektor-sektor lain yang memiliki eksposur ke China.

Melansir Financial Times (FT), Jumat (16/2/2024), ini karena para investor masih optimistis atas kemungkinan pemulihan di negara ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.

Investor cenderung menghindari berinvestasi langsung di pasar saham Negeri Tirai Bambu yang sedang lesu.

Dilaporkan FT, indeks Stoxx Luxury 10 yang berisi emiten-emiten barang-barang mewah telah meningkat 9,3 persen tahun ini. Angka ini jauh di atas kenaikan 0,8 persen pada Stoxx Europe 600, yang menjadi ukuran luas dari pasar saham Eropa.

Menurut perkiraan Barclays, sekitar 26 persen pendapatan perusahaan-perusahaan mewah ini berasal dari China.

Sejumlah saham perusahaan barang mewah seperti LVMH, Hermes, Dior, hingga Kering SA moncer sepanjang tahun ini. Secara year to date (YTD), saham Hermes International SCA sudah melesat 16,71 persen dan saham Christian Dior SE naik 14,94 persen.

Saham produsen merk luxury Louis Vuittong, LVMH Moet Hennessy Louis Vuitton SE juga mengalami kenaikan 14,27 persen dan saham Kering SA, selaku produsen Gucci juga meroket 10,28 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)

Sektor lain yang juga terkena dampak China seperti industri otomotif dan layanan kesehatan, juga menunjukkan kinerja yang lebih baik.

Para ahli strategi mengatakan ada tanda-tanda awal bahwa perekonomian China akan pulih. Namun, hilangnya kapitalisasi pasar saham China hampir USD2 triliun tahun lalu membuat investor hati-hati untuk berinvestasi.

“Saham Eropa menawarkan “cara yang lebih aman” untuk mendapatkan eksposur ke China. Sebagian besar sektor di Eropa bisa mendapatkan keuntungan dari perbaikan yang terjadi di China dan perbaikan tersebut belum bisa diperkirakan,” kata Florian Ielpo, kepala makro di Lombard Odier Investment Managers.

“Jika Anda tidak ingin terkena masalah struktural namun ingin terkena siklus pemulihan, maka ekuitas Eropa adalah pilihan yang tepat,” tambahnya.

Menurutnya, saham-saham emiten barang-barang mewah adalah tempat yang jelas untuk berinvestasi, begitu juga dengan layanan kesehatan, pembuat mobil, dan industri.

Saham-saham barang mewah Eropa seperti LVMH dan Hermès,memang mengalami peningkatan beberapa pekan terakhir tersengat kinerja keuangan yang mengalahkan perkiraan para analis.

Kondisi ini meyakinkan investor di mana valuasinya telah terpukul secara berlebihan oleh suramnya perekonomian China.

Meski demikian, CEO Hermès Axel Dumas menepis kekhawatiran tentang perlambatan konsumen China pada minggu lalu.

Meskipun dia mengatakan bahwa dia melihat lalu lintas pusat perbelanjaan yang lebih rendah pada kunjungan terakhirnya ke negara tersebut. Namun menurut dia, hal ini tidak tercermin dalam angka kuartal keempat perusahaan tersebut.

“Dalam beberapa kasus, sikap negatif terhadap China terlalu berlebihan,” kata Emmanuel Cau, kepala strategi ekuitas Eropa di Barclays.

Ekonomi China Berjuang, Pasar Menanti

China kini harus dihadapkan dalam kondisi pemulihan perekonomian yang melambat. Bahkan, diprediksi tak akan bisa kembali pada kondisi sebelum pandemi.

Negara ini sedang berjuang untuk keluar dari periode ekonomi terburuknya dalam 40 tahun terakhir.

Kepercayaan konsumen anjlok, Beijing tidak hanya fokus pada pertumbuhan namun juga pada keamanan dan stabilitas. Kondisi ini membuat perusahaan serta investor global bersiap menghadapi kenaikan yang lebih lambat.

Hilangnya ekspektasi terjadi setelah setahun lalu yang penuh kekecewaan. Pemulihan tajam perekonomian yang diperkirakan terjadi setelah Beijing mencabut pembatasan pandemi pada akhir tahun 2022 ternyata kurang memuaskan hasilnya.

Tindakan keras yang dilakukan oleh otoritas China selama bertahun-tahun terhadap sektor swasta, yang menargetkan beberapa perusahaan sukses terbesar di negara tersebut, seperti Alibaba Group Holding dan Tencent Holdings, meninggalkan bekas luka bagi para pemilik bisnis yang merasa gelisah dalam berinvestasi atau merekrut pekerja.

Perekonomian China hanya tumbuh 5,2 persen tahun lalu, naik dari 3 persen tahun sebelumnya.

Dengan tidak adanya perubahan pendekatan stimulus oleh Beijing, Capital Economics memperkirakan pertumbuhan ekonomi China tahun ini hanya akan mendekati 4,5 persen, kira-kira setengah dari tren jangka panjang China dibandingkan dekade-dekade sebelumnya.

Sebagian dari permasalahan China memang berasal dari sumber-sumber yang mendorong pertumbuhan pesat selama beberapa dekade terakhir. Setelah krisis keuangan global pada tahun 2008-2009, perekonomian China bangkit kembali ketika pihak berwenang mengeluarkan belanja besar-besaran untuk pembangunan infrastruktur dan properti.

Pihak berwenang juga baru-baru ini meningkatkan upaya untuk meningkatkan kepercayaan pasar, dengan intervensi pasar melalui lembaga keuangan yang berafiliasi dengan negara dengan mengucurkan dana ke pasar dan memperketat aktivitas short-selling.

Indeks CSI300 China telah anjlok 43 persen dari nilai tertinggi sepanjang masa tiga tahun lalu, namun baru-baru ini mulai meningkat setelah adanya intervensi dari Beijing. Meski demikian, investor internasional tetap sangat berhati-hati.

Dan pasar properti China yang menyumbang seperlima dari aktivitas perekonomian dan merupakan penyimpan kekayaan rumah tangga terbesar, sedang memasuki tahun keempat kontraksi.

Kondisi ini menyebabkan rumah tangga di beberapa kota di China mengalami penurunan harga properti sebanyak 30 persen.

Beijing tidak tinggal diam. Namun langkah-langkah yang diambil sejauh ini, seperti pemberian voucher kepada beberapa pembeli rumah di kota-kota tertentu, pemotongan suku bunga hipotek, dan pelonggaran pembiayaan bagi pengembang milik negara untuk menyelesaikan proyek-proyek yang belum selesai, belum cukup untuk memacu permintaan secara luas.

Pihak berwenang berupaya mengisi kesenjangan tersebut, dengan inisiatif “Tiga Proyek Besar” yang berfokus pada pembangunan perumahan yang terjangkau dan renovasi kawasan perkotaan.

China juga telah menyuntikkan dana ke dalam perekonomian, memberikan kredit baru hingga hampir sepertiga produk domestik bruto (PDB) yang sebagian besar diberikan kepada perusahaan-perusahaan milik negara.

Sementara itu, sentimen investor terhadap China memburuk. Beberapa investor telah memutuskan bahwa negeri ini tidak dapat dijadikan tujuan berinvestasi.

Alasannya beragam, mulai dari sikap geopolitik Xi Jinping yang lebih agresif, tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), semakin kurangnya transparansi, dan kekhawatiran akan meningkatnya pengawasan Kongres dan pihak lain terhadap investasi China. (ADF)

SHARE