Balada Kenaikan Cukai dan Outlook Emiten Rokok di 2024
Pemerintah kembali menggenjot penerapan aturan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT).
IDXChannel – Pemerintah kembali menggenjot penerapan aturan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT).
Aturan ini bahkan telah diserukan sejak akhir tahun lalu di mana Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan kenaikan tarif CHT rata-rata 10 persen per Januari 2024.
Kenaikan ini sesuai dengan beleid yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2022. Saat itu, Jokowi merilis kebijakan kenaikan tarif CHT dua tahun berturut-turut sepanjang 2023 dan 2024.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani saat itu mengatakan, kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongannya.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 191/2022 tentang Perubahan Kedua atas PMK 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) berupa sigaret, cerutu, rokok daun atau klobot, dan tembakau iris.
Golongan sigaret kretek mesin (SKM) I dan II rata-rata naik antara 11,5 persen—11,75 persen, sigaret putih mesin (SPM) I dan II naik sekitar 11 persen, serta sigaret kretek tangan (SKT) rata-rata 5 persen.
Pada kesempatan lain, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani mengatakan, pita cukai baru untuk penyesuaian tarif 2024 sudah disiapkan sebanyak 17 juta pita. Total pita cukai rokok baru itu khusus untuk pengadaan pada Januari 2024.
"Mengenai pemesanan pita cukai 2024 saat ini kita sudah siapkan 17 juta pita cukai untuk kebutuhan Januari, dan ini sudah sesuai pesanan industri rokok yang sudah sampaikan ke kantor-kantor pelayanan bea cukai di berbagai wilayah," kata Askolani saat konferensi pers APBN di Jakarta, Jumat (15/12/2023).
Namun, wacana kenaikan cukai rokok di awal tahun ini menjadi kado pembuka tahun yang memunculkan pro dan kontra. Ini karena kenaikan cukai hasil tembakau per Januari 2024 ini akan berimbas terhadap harga rokok dan produk tembakau alternatif turunannya, tak terkecuali kinerja emiten rokok yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Kenaikan Cukai Rokok sepanjang Pemerintahan Jokowi
Kenaikan cukai rokok ini bukan yang pertama kali di Indonesia. Sepanjang pemerintahan presiden Jokowi, kenaikan tarif CHT sudah mencapai 108 persen sejak 2014 hingga 2024. Jika ditarik ke belakang, total sejak 2012 tarif cukai telah mengalami kenaikan sebesar 127,69 persen, termasuk kenaikan 10 persen di tahun ini.
Jika di rata-rata, kenaikan cukai rokok di Indonesia selama satu dekade terakhir adalah sebesar 9,82 persen setiap tahunnya. Rata-rata kenaikan tarif cukai tertinggi terjadi pada 2020, dimana tarif cukai naik sebesar 23 persen pada tahun tersebut. Di 2022, tarif cukai telah mengalami kenaikan sebesar 12,5 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Kebijakan kenaikan tarif cukai pemerintah ini merupakan komitmen pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Dalam RPJMN tersebut, pemerintah berfokus pada penekanan angka prevalensi perokok untuk mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase merokok pada penduduk umur di atas15 tahun pada 2023 mencapai 28,62 persen, angka ini meningkat 1,27 persen dibanding tahun 2022 yang mencapai 28,26 persen per Maret 2022.
Hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa dalam Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2011 dan diulang pada tahun 2021 menemukan, selama kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa di Indonesia.
Jumlahnya bertambah sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021.
Laporan Kementerian Kesehatan RI pada konferensi pers Hari Tanpa Tembakau (HTT) Sedunia 2023 juga menyebutkan jumlah perokok di Indonesia meningkat pada periode 2013 hingga 2019, terutama pada usia anak dan remaja yaitu lebih dari 2 persen.
Tak hanya itu, konsumsi rokok di kelompok masyarakat miskin juga cukup tinggi. Kelompok masyarakat ini lebih memilih membeli rokok dibanding makanan bergizi dari jerih payah mereka mengumpulkan uang.
Melansir Kementerian Keuangan, konsumsi rokok di kelompok masyarakat miskin mencapai 11,6 hingga 12,2 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka, jumlah tersebut membuat konsumsi rokok menjadi konsumsi kedua terbesar pada masyarakat miskin.
Pemain Industri Tembakau RI
Kenaikan tarif CHT sebesar 10 persen ini nantinya akan berpengaruh pada semakin mahalnya harga rokok di pasaran. Bak pisau bermata dua, rokok menjadi bumerang kesehatan bagi masyarakat, namun, pangsa pasar rokok di Indonesia cukup besar.
Sebenarnya tak hanya pada CHT, Presiden Jokowi juga meminta untuk menaikkan tarif cukai pada rokok elektrik dan produk hasil tembakau lainnya (HPTL).
Berbeda dari CHT, kenaikan cukai rokok elektronik ditetapkan sebesar 15 persen, dan 6 persen untuk HTPL, dan kenaikan ini akan terus berlaku setiap tahunnya selama 5 tahun ke depan.
Tak afdol membahas cukai tembakau tanpa membahas para produsen rokok utama RI. Sebagai ceruk bisnis menjanjikan, rokok yang menjadi primadona ‘wong cilik’ ternyata dikuasai segelintir pengusaha utama. Ketiga konglomerat rokok ini adalah PT Djarum, Gudang Garam, hingga HM Sampoerna.
Kerajaan bisnis rokok di Indonesia tentu sudah tidak asing dengan nama Djarum Group yang dimiliki oleh dua orang yang masuk jajaran daftar taipan terkaya, R. Budi Hartono dan Michael Hartono alias Hartono Bersaudara.
Mengutip sejarahnya, PT Djarum awalnya merupakan sebuah pabrik rokok kretek kecil di Kudus dan dinamai Djarum Gramophon. Kemudian pada 21 April 1951, Oei Wie Gwan membeli pabrik tersebut dan disingkatnya menjadi Djarum.
Kedua anak Oei Wie Gwan yaitu Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono, ikut membangun Djarum hingga berhasil menjadi salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia.
Bisnis rokok mengantarkan anak-anak Oei Wie Gwan menjadi konglomerat dengan berbagai anak usaha.
Di era modern, industri kretek rokok lebih dikenal dengan industri sigaret kretek tangan (SKT). Melansir Stockbit, industri SKT sepanjang tahun ini mengalami tren positif di mana ketiga emiten rokok di Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami kenaikan penjualan SKT pada sembilan bulan pertama 2023 (9M2023).
Tiga emiten ini adalah PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP), PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM). Sayangnya, grup Djarum belum mencatatkan sahamnya di BEI.
Hingga akhir 2023, GGRM menjadi perusahaan rokok dengan aset terbesar mencapai Rp86,67 triliun. Sementara HMSP merupakan emiten dengan aset terbesar kedua mencapai Rp55,76 triliun. (Lihat grafik di bawah ini.)
HMSP memiliki merek dagang rokok kretek terkenal seperti Dji Sam Soe dan Sampoerna Kretek. Sementara GGRM merupakan pemilik merek dagang Gudang Garam Merah, Gudang Garam Patra, dan Gudang Garam Djaja, serta Sriwedari. Adapun WIIM memegang merek dagang Wismilak, Galan dan Arja.
Ada juga emiten PT Indonesian Tobacco Tbk. (ITIC) dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk. (RMBA).
Perlu diketahui, Bentoel Internasional Investama berencana akan segera angkat kaki dari BEI alias delisting. Namun, perseroan masih mengalami kendala dalam proses delisting tersebut.
Saham Bentoel kini dikuasai oleh British American Tobacco (BAT), yang menggenggam 99,96 persen saham dan menjadi pemegang saham utama produsen rokok dengan merek dagang Dunhill dan Lucky Strike ini. Sementara jumlah kepemilikan saham RMBA di masyarakat hanya 0,04 persen.
Beban Emiten Rokok di Tengah Kenaikan Cukai
Meski demikian, Stockbit mencatat, pada emiten rokok tier satu tersebut, pertumbuhan segmen SKT justru terjadi di tengah penurunan segmen Sigaret Kretek Mesin alias SKM dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Kondisi ini dapat mengindikasikan bahwa tren downtrading konsumen rokok masih berlanjut.
Jika mengacu pada industri, volume penjualan rokok selama 9M203 turun 5 persen secara tahunan (yoy) menjadi 219,1 miliar batang.
Melansir laporan keuangan perusahaan, terlihat bahwa cukai rokok adalah kontributor utama beban pokok perusahaan. GGRM mencatatkan beban cukai paling tinggi mencapai Rp55,11 triliun. Sementara HMSP berada di urutan ke dua dengan beban cukai mencapai Rp48,82 triliun. (Lihat tabel di bawah ini.)
Dari sisi kinerja saham, WIIM mencatatkan kinerka paling moncer sepanjang 2023 di mana secara year on year (yoy), sahamnya naik 131,51 persen Sementara laba bersih WIIM tercatat Rp441 miliar per sembilan bulan pertama 2023 (9M2023).
Per Kamis (11/1/2024), saham HMSP menguat 1,15 persen di level Rp880 per saham dan GGRM menguat 0,73 persen di level Rp20.775 per saham per pukul 15.00 WIB.
Sementara saham WIIM bergerak merah 0,58 persen di level Rp1.715 per saham dan ITIC merah 0,65 persen di level Rp308 per saham.
‘Setoran’ para pemain bisnis rokok ini tak main-main bagi negara. Kementerian Keuangan atau Kemenkeu mengumumkan bahwa penerimaan cukai rokok sebesar Rp163,2 triliun sepanjang Januari-Oktober 2023.
Jumlah tersebut mencapai 70,2 persen dari target cukai rokok tahun lalu. Meski demikian, angka ini mengalami penurunan 4,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara di 2022, penerimaan negara dari cukai rokok mencapai Rp218,6 triliun berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) di bagian Laporan Arus Kas (LAK). Angka ini berkontribusi 95,05 persen terhadap total penerimaan cukai secara keseluruhan. (Lihat grafik di bawah ini.)
Riset BRI Danareksa Sekuritas menyebutkan, diperkirakan kinerja industri rokok pada 2024 masih akan ada potensi penurunan volume penjualan rokok.
Pada tahun fiskal 2017 hingga 2022, penerimaan cukai hasil tembakau tumbuh sebesar CAGR 8,2 persen sementara volume rokok (berdasarkan data Kementerian Keuangan mengenai penjualan pita cukai) turun sebesar 1 persen pada periode yang sama.
Untuk FY23, pemerintah telah merevisi target penerimaan cukai hasil tembakau sebesar 6 persen menjadi Rp218.7 triliun karena volume yang lemah (dalam 10M23 terkoreksi 1,8 persen yoy) dengan penerimaan cukai hasil tembakau turun 4,4 persen yoy, yang hanya mencapai 70 persen dari target awal.
Sementara target 2023 sebesar Rp232,6 triliun dan untuk tahun 2024, Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan cukai rokok sebesar Rp230,4 triliun (alias bertumbuh 5,3 persen yoy). Kondisi ini berarti pertumbuhan volume negatif pada industri rokok akan terus berlanjut.
Kondisi ini didukung oleh pertumbuhan upah minimum yang lemah yang hanya rata-rata sebesar 4 persen pada 2024, dan penurunan perdagangan akan terus berlanjut, sehingga membuat daya beli konsumen melemah.
Untuk itu, BRI Danareksa Sekuritas mempertahankan peringkat Overweight (OW) pada saham rokok HMSP dan buy pada GGRM karena penurunan kinerja yang sudah diperkirakan.
“Kami mempertahankan peringkat OW kami pada sektor ini dengan HMSP sebagai pilihan utama kami karena kontribusi signifikan dari SKT di tengah berlanjutnya penurunan perdagangan dan pertumbuhan laba bersih yang lebih tinggi (+13,4 persen yoy). Kami juga mempertahankan peringkat Buy pada GGRM yang saat ini juga memberikan imbal hasil dividen 11,” kata riset BRI Danareksa Sekuritas pada 4 Desember 2023. (ADF)