Bursa Asia Menguat, Pasar Amati Ketegangan Geopolitik dan Risiko Fiskal
Bursa saham Asia menguat pada Rabu (21/5/2025) pagi, meski minat risiko masih tertahan oleh naiknya imbal hasil obligasi.
IDXChannel – Bursa saham Asia menguat pada Rabu (21/5/2025) pagi, meski minat risiko masih tertahan oleh naiknya imbal hasil obligasi, di tengah kekhawatiran pasar terhadap prospek fiskal negara-negara maju dan minimnya kemajuan dalam kesepakatan dagang baru.
Pasar juga mencermati pergerakan obligasi Jepang setelah imbal hasil tenor super panjang melonjak ke rekor tertinggi pada Selasa, menyusul lemahnya lelang obligasi 20 tahun yang menimbulkan keraguan terhadap permintaan utang pemerintah.
Pada awal perdagangan Rabu, imbal hasil obligasi 20 tahun naik 2 basis poin, sementara imbal hasil obligasi 30 tahun justru turun 1,5 basis poin.
Di pasar saham, indeks unggulan China (CSI 300) meningkat 0,63 persen, sementara indeks Hang Seng Hong Kong menguat 0,77 persen dan Shanghai Composite tumbuh 0,32 persen.
Pemerintah China menyatakan dapat mengambil langkah hukum terhadap individu atau organisasi yang membantu atau menjalankan kebijakan AS yang menyarankan perusahaan untuk tidak menggunakan semikonduktor canggih dari China.
Indeks MSCI untuk saham Asia Pasifik di luar Jepang naik 0,5 persen, sementara indeks Nikkei Jepang melemah 0,12 persen.
“Pasar sedang mencari katalis baru untuk mendorong minat risiko,” kata analis pasar senior di Capital.com, Kyle Rodda.
“Putar balik kebijakan dagang AS dan upaya meredam kerusakan akibat tarif Hari Pembebasan menunjukkan tekad untuk menyelesaikan semuanya. Inilah yang menopang valuasi saham,” ujarnya.
Data terbaru menunjukkan pengiriman barang Jepang ke AS turun pada April, meskipun ekspor secara keseluruhan naik tujuh bulan berturut-turut, menandakan dampak tarif Presiden Donald Trump terhadap pemulihan ekonomi Jepang yang masih rapuh.
Kekhawatiran fiskal juga tercermin di Wall Street. Indeks S&P 500 menghentikan reli enam hari pada Selasa, terbebani kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS yang stabil selama jam perdagangan Asia.
Rancangan undang-undang (RUU) perpajakan yang berpotensi menambah beban utang pemerintah federal AS sebesar USD3 triliun hingga USD5 triliun — dari total beban utang saat ini sebesar USD36,2 triliun — dijadwalkan untuk divoting pekan ini di Kongres. Hal ini terjadi hanya beberapa hari setelah Moody’s menurunkan peringkat kredit AS.
Analis juga mencermati potensi kemajuan kesepakatan dagang baru antara AS dan mitra dagangnya, yang dapat mendorong minat risiko. Namun kebijakan Trump dinilai telah memberi dampak negatif terhadap ekonomi global.
Pada Selasa, sejumlah pejabat Federal Reserve (The Fed) menyebut harga-harga kemungkinan naik akibat tarif impor AS yang meningkat, dan menyerukan agar bank sentral bersabar dalam mengambil keputusan suku bunga.
Pelaku pasar juga mewaspadai kemungkinan pejabat AS mendorong pelemahan dolar dalam pertemuan para menteri keuangan negara-negara G7 yang tengah berlangsung di Kanada. (Aldo Fernando)