Bursa Pertimbangkan Buka Suspensi Saham, Garuda (GIAA) Punya Utang Rp198 Triliun
Garuda tercatat menanggung beban kewajiban atawa liabilitas (termasuk utang) yang menggunung, sedangkan ekuitas minus, kas menipis, dan rugi jumbo.
IDXChannel – Emiten maskapai penerbangan BUMN PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) akhirnya merilis laporan keuangan tahun penuh 2021. Sebelumnya, Garuda, bersama 50 emiten lainnya, kena semprit pihak bursa karena telat menyampaikan laporan keuangan kuartal I 2022.
Menurut laporan keuangan GIAA yang terbit di website Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (13/7/2022), Garuda tercatat menanggung beban kewajiban atawa liabilitas (termasuk utang) yang menggunung, sedangkan ekuitas minus, kas menipis, dan rugi jumbo.
Total liabilitas GIAA mencapai USD13,30 miliar atau setara dengan Rp198,2 triliun (asumsi kurs Rp14.900/USD) per 31 Desember 2021.
Liabilitas sewa (baik jangka pendek maupun jangka panjang) menyumbang USD5,61 miliar (Rp83,6 triliun) dari total liabilitas perseroan.
Sementara, liabilitas estimasi biaya pengembalian dan pemeliharaan pesawat (jangka pendek dan jangka panjang) mencapai USD3,01 miliar (Rp44,92 triliun).
Apabila liabilitas sewa dan liabilitas estimasi biaya pengembalian dan pemeliharaan pesawat digabungkan, dua kewajiban tersebut berkontribusi sebesar 64,8% (Rp128,53 triliun) dari total liabilitas Garuda.
Sebagai informasi, mengenai liabilitas sewa, GIAA melakukan transaksi sewa, di antaranya sewa pesawat, mesin, bangunan, kendaraan, tanah dan perangkat keras.
Selain liabilitas sewa di atas, pinjaman (baik jangka pendek maupun panjang) dan utang usaha GIAA juga turut berkontribusi signifikan terhadap total liabilitas perusahaan.
Pinjaman GIAA mencapai USD1,42 miliar (Rp21,15 triliun), sedangkan utang usaha sebesar USD1,21 miliar (Rp18,03 triliun).
Di tengah kewajiban yang bernilai jumbo tersebut, ekuitas atau modal GIAA tercatat negatif, yakni minus USD6,07 miliar (Rp90,47 triliun) per akhir Desember 2021. Angka ini membengkak dibandingkan periode 31 Desember 2020 yang minus USD1,92 miliar.
Dus, total aset GIAA menyusut menjadi USD7,19 miliar per 31 Desember 2021, dari periode yang sama tahun 2020 USD10,79 miliar.
Sementara itu, kas dan setara kas Garuda hanya sebesar USD54,44 juta (Rp811,19 miliar) per 31 Desember 2021, menyusut dari tahun sebelumnya USD200,98 juta (Rp2,99 triliun).
Dari laporan laba-rugi, pendapatan Garuda tercatat sebesar USD1,33 miliar selama 2021, turun 10,4% secara tahunan (yoy) dari tahun sebelumnya yang sebesar USD1,49 miliar.
Dari bottom line, GIAA kembali membukukan rugi bersih USD4,16 miliar (Rp61,97 triliun), lebih tinggi dari rugi bersih 2020 USD2,44 miliar.
Bursa Pertimbangkan Buka ‘Gembok’ GIAA
Diwartakan IDX Channel sebelumnya(10/7), Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna Setia mengatakan bahwa bursa saat ini sedang dalam tahap penelaahan terhadap upaya Garuda Indonesia menyelesaikan masalah utangnya.
Penelaahan yang dilakukan juga termasuk salinan perjanjian perdamaian final yang nantinya akan disampaikan oleh Perseroan.
Nyoman melanjutkan terkait pembukaan suspensi GIAA, bursa akan melakukan pembukaan suspensi saham GIAA jika telah memenuhi persyaratan Bursa.
''Dalam hal ini yaitu penjelasan terhadap restrukturisasi utang Perseroan, termasuk sukuk'' ujarnya melalui keterangannya yang dikutip oleh MPI, Minggu 10/7/2022.
Dia juga mengatakan bahwa BEI juga tengah mempertimbangkan Garuda Indonesia untuk melaksanakan Public Expose Insidentil.
PKPU Rampung, GIAA Siap Cari Tambahan Modal
Informasi saja, pada 27 Juni lalu, GIAA akhirnya memperoleh homologasi atau kesepakatan damai dengan kreditur terkait proposal restrukturisasi utang senilai Rp142 triliun. Kesepakatan ini ditetapkan di dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
"Dengan ini menyatakan sah dan mengikat secara hukum perjanjian penundaan utang yang disetujui pada 17 Juni 2022 antara PT Garuda dan krediturnya," ujar Hakim Ketua Majelis Kadarisman, dalam sidang di PN Jakarta Pusat, Senin (27/6/2022).
Dengan kesepakatan ini, maka kreditur wajib mengikuti proses pelunasan utang Garuda Indonesia berdasarkan isi proposal yang diajukan manajemen beberapa waktu lalu.
Garuda Indonesia berhasil memperoleh persetujuan perdamaian dari kreditur. Mayoritas atau 97,46 persen dari total jumlah kreditur mendukung isi proposal yang mengarah pada homologasi.
Teranyar, pasca mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN) dari pemerintah sebesar Rp7,5 triliun, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) akan melakukan pemberian hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue.
Dalam keterbukaan informasi, Bursa Efek Indonesia (BEI), pemerintah telah mengalokasikan Rp7,5 triliun dalam anggaran pendapatan dan belanja negara tahunan untuk penyertaan modal negara (PMN) kepada perseroan melalui HMETD.
Adapun GIAA memberikan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau right issue sebanyak-banyaknya 225,59 miliar lembar saham atau sebesar 871,44 persen.
Sementara saham baru dalam penambahan modal melalui HMETD akan dikeluarkan dengan nilai nominal sebesar Rp459/saham. Sedangkan untuk harga pelaksanaan untuk right issue belum ditetapkan.
Pemberian HMETD rencananya akan digunakan perseroan untuk pemeliharaan pesawat, biaya dan pengeluaran terkait restrukturisasi utang perseroan, serta mendukung kebutuhan operasional perseroan dan anak perusahaan.
Selain rights issue, GIAA juga akan melakukan penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD) atau private placement yang dilakukan guna memperbaiki keuangan perseroan.
“PMTHMETD merupakan bagian dari Rencana Perdamaian dan diharapkan dapat meringankan beban keuangan perseroan dan memperbaiki struktur keuangan perseroan,” tulis manajemen dalam keterbukaan informasi. (ADF)