Dampak Pandemi Meluas, OJK Perpanjang Restrukturisasi Pinjaman ke Multifinance
Kini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memperpanjang ke perusahaan pembiayaan (multifinance) demi pemulihan ekonomi nasional.
IDXChannel - Kebijakan restrukturisasi pinjaman kini tidak hanya untuk perbankan, tapi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga memperpanjang ke perusahaan pembiayaan (multifinance) demi pemulihan ekonomi nasional.
"Kebijakan restrukturisasi mungkin akan kami perpanjang baik untuk perbankan dan pembiayaan, karena pemulihan ekonomi kita ini akan sangat bergantung pada pemulihan kesehatan masyarakat," kata Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W Budiawan di Jakarta, seperti dikutip iNews, Rabu (12/8/2020).
Sejatinya kebijakan untuk memperpanjang restrukturisasi untuk industri pembiayaan (multifinance) karena tidak luput dari dampak pandemi Covid-19.
Multifinance harus rela restrukturisasi besar-besaran terhadap para nasabah yang terkena dampak langsung Covid-19, mulai dari penundaan pembayaran cicilan, hingga perpanjangan tenor pembiayaan.
OJK mencatat ada 144 perusahaan pembiayaan dari total 182 perusahaan pembiayaan yang memiliki pendanaan dari kreditur. Di mana 26 di antaranya telah mengajukan restrukturisasi ke para krediturnya.
Berdasarkan monitoring Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 11 Agustus 2020, progres penerapan program restrukturisasi terhadap debitur yang terdampak Covid-19 mencakup 4.823.271 kontrak dengan total outstanding pokok Rp150,43 triliun dan bunga Rp38,03 triliun.
Kontrak yang permohonannya masih dalam proses sebanyak 350.140 dengan total outstanding pokok Rp16,34 triliun dan bunga sebesar Rp3,90 triliun. "Kontrak yang disetujui perusahaan pembiayaan untuk dilakukan restrukturisasi sebanyak 4.187.726 kontrak dengan total outstanding pokok Rp124,34 triliun dan bunga Rp31,73 triliun," kata Bambang.
Lanjutnya, kontrak yang permohonannya tidak sesuai dengan kriteria sebanyak 285.405 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp9,75 triliun dan bunga sebesar Rp2,4 triliun.
Langkah restrukturisasi tersebut harus dilakukan demi menjaga tidak terjadi lonjakan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) secara masif.
Restrukturisasi tersebut sejatinya bukanlah solusi terakhir, ungkap Bambang, karena setelahnya ada permasalahan likuiditas dan solvabilitas yang mengintai multifinance. Di tengah pengetatan likuiditas yang dialami bank sebagai sumber pendanaan terbesar bagi mutifinance, tentunya multifinance harus mencari alternatif pendanaan lain.
"Selain dari ada restrukturisasi juga dari sisi cashflow akan susah bertumbuh kalau cashflow-nya masih kering akan sulit bagi bisnis mereka. Apalagi perusahaan pembiayaan ini 89 persen pendanaan dari pinjaman," ujar Bambang. (*)