MARKET NEWS

IHSG 'Lemes' Lagi saat Bursa Asia-Wall Street Ceria, Kapan Balik Arah?

Aldo Fernando - Riset 14/10/2022 11:24 WIB

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih kembali bergerak fluktuatif di tengah sentimen global yang terus membayangi.

IHSG 'Lemes' Lagi saat Bursa Asia-Wall Street Ceria, Kapan Balik Arah? (Foto: MNC Media)

IDXChannel – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih kembali bergerak fluktuatif di tengah sentimen global yang terus membayangi. Kapan IHSG bisa mematahkan penurunan sejak medio September lalu dan kembali ke jalur kenaikan?

Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG sempat menembus 6.943,85 sesaat bel pembukaan berbunyi pada 09.00 WIB. Namun, penguatan IHSG semakin melemah hingga mulai merosot minus 0,04 persen ke 6.877 pada sekitar 10.30 WIB.

Alhasil, IHSG kembali melanjutkan tren pelemahan, setelah sejak Jumat pekan lalu (7/10) IHSG tidak pernah ditutup di zona hijau.

Dalam sepekan, IHSG minus 2,12 persen dan dalam sebulan anjlok 4,06 persen.

Dengan kembali melemahnya IHSG pagi ini, sekarang pergerakan IHSG berbeda arah dengan rebound (penguatan kembali) bursa Asia.

Sebut saja, indeks Nikkei Jepang menguat signifikan 3,50 persen, indeks Hang Seng melesat 3,36 persen, Shanghai Composite menguat 1,57 persen, dan Straits Times Singapura terapresiasi 0,89 persen.

Bursa Asia tampak mengekor bursa saham Amerika Serikat (AS) yang justru rebound pada perdagangan Rabu waktu AS (atau Kamis dini hari WIB) saat Biro Ketenagakerjaan AS melaporkan inflasi September yang masih tinggi.

Indeks Dow Jones naik 2,83 persen, S&P 500 menguat 2,60 persen, Nasdaq melonjak 2,23 persen.

Sementara, laju inflasi headline AS per September 8,2 persen atau turun dari inflasi Agustus yang sebesar 8,3 persen, mirip dengan proyeksi ekonom.

Hanya saja, angka tersebut masih tinggi, apalagi dengan melihat tingkat suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang ‘hanya’ di level 3,25 persen.

Yang menjadi sorotan, inflasi inti (mengeluarkan item harga energi dan makanan) tahunan malah naik 6,6 persen dari bulan sebelumnya 6,3 persen. Angka tersebut lebih tinggi tinimbang konsensus ekonom 6,5 persen.

Inflasi yang masih berkanjang tersebut diprediksi akan kembali menjadi bahan pertimbangan The Fed serta Bank Indonesia (BI) terkait kebijakan moneter ke depan.

Saham Pemberat

Beratnya langkah IHSG untuk mengakhiri pekan ini tak lepas dari memerahnya saham-saham yang punya kapitalisasi pasar (market cap) jumbo.

Menyebut beberapa, harga saham PT Bank Jago Tbk (ARTO) dengan market cap Rp69,63 triliun anjlok hingga batas auto rejection bawah (ARB) 6,94 persen, saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) turun 2,83 persen.

Asal tahu saja, market cap GOTO mencapai Rp243,98 triliun.

Nama lainnya, saham PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) turun 0,65 persen, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) terdepresiasi 0,62 persen, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) terkoreksi 0,57 persen.

EMTK punya market cap Rp94,01 triliun, UNVR sebesar Rp183,50 triliun, dan BBNI Rp162,71 triliun.

Secara umum, hanya 207 saham yang menguat, 284 turun, dan 172 stagnan.

Menanti IHSG Kembali ke Utara

Secara teknikal, level support terdekat IHSG berada di 6.851 dan di 6.760.

Sementara, level pivot (titik potensi pembalikan/reversal) di 7.113. Apabila IHSG bisa kembali menguat ke atas level pivot tersebut, tren penurunan sejak medio September lalu bisa berkurang.

Sebelumnya, Direktur Ekuator Swarna Investama Hans Kwee memaparkan, ekonomi global yang sedang dilanda kekhawatiran berpengaruh terhadap pasar saham RI.

“Ekonomi global sedang khawatir. Ekonomi melambat. Kalau ekonomi melambat, biasanya akan berdampak pada pertumbuhan laba perusahaan,” jelas Hans saat dihubungi IDXChannel, Rabu (12/10).

Menurut estimasi Hans, dengan skenario resesi rendah, laba perusahaan di luar negeri kurang lebih bisa turun 15 persen.

Hans melanjutkan, sebagai negara pengekspor komoditas, seperti batu bara dan minyak sawit, perlambatan ekonomi global akan memengaruhi ekonomi RI dan pasar saham dalam negeri.

“Tentu ini [sentimen ekonomi global] akan berpengaruh ke Indonesia. Indonesia kan ngandelin komoditas. Ekonomi global turun, ekspor turun. Saham komoditas turun. Sehingga ekonomi melambat, laba perusahaan turun. Ini yang membuat saham dalam negeri turun,” bebernya.

“Kita salah satu bursa terbaik di dunia,” kata Hans, “Penurunan ini mengoreksi pertumbuhan-pertumbuhan sebelumnya.”

Ke depan, mengutip penjelasan Hans, dunia menghadapi dua hal penting.

Pertama, soal potensi bank sentral global akan menaikkan suku bunga lagi di tengah data inflasi di Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang masih tinggi. “Kenaikan [inflasi] tersebut akan membuat resesi,” ujar Hans.

Kedua, Rusia-Ukraina, salah satu jembatan yang menghubungkan Rusia dengan Semenanjung Krimea meledak pada Sabtu (8/10) dan menyebabkan kemarahan di Moskow. Belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas ledakan di rute penting bagi pasukan perang Rusia tersebut.

“Itu bikin Rusia marah. Ini membuat risiko global meningkat dan membuat pasar terkoreksi akhir-akhir ini,” jelas Hans.

Berkaitan dengan poin kedua, kata Hans, menjelang akhir tahun, Eropa akan memberikan sanksi ke Rusia yang sedang berperang dengan Ukraina.

Hal ini juga, demikian papar Hans, berpotensi menaikkan harga minyak mentah dunia dan ikut memengaruhi harga BBM dalam negeri.

Hans masih optimistis indeks saham acuan RI tersebut akan kembali ke level psikologis 7.100-7.200 di akhir Desember.

Investor asing, kata Hans, juga akan kembali ke pasar saham RI seiring dengan aksi The Fed yang diproyeksi tidak akan seagresif bulan-bulan sebelumnya dalam menaikkan suku bunga.

Sebagai informasi, asing ‘cabut’ dari pasar saham RI dengan nilai penjualan bersih (net sell) Rp1,17 triliun di pasar reguler dalam sepekan dan sebesar Rp7,41 triliun dalam sebulan belakangan.

Kendati, investor asing masih melakukan pembelian bersih (net buy) di pasar reguler sebesar Rp62,52 triliun secara year to date (ytd). (ADF)

Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.

SHARE