MARKET NEWS

Keperkasaan Dolar Bikin Asing ‘Bawa Kabur’ USD71 Miliar dari Pasar Asia, RI Aman?

Aldo Fernando - Riset 18/07/2022 17:50 WIB

Penguatan dolar di pasar global akhir-akhir ditopang oleh sentimen soal kekhawatiran pasar atas aksi kerek bunga acuan secara agresif a la bank sentral AS.

Keperkasaan Dolar Bikin Asing ‘Bawa Kabur’ USD71 Miliar dari Pasar Asia, RI Aman? (Foto: MNC Media)

IDXChannel – Keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini turut memicu aliran dana keluar (capital outflow) dari pasar saham negara berkembang di Asia. Lantas, bagaimana dengan dana asing di bursa saham RI?

Melansir Bloomberg (17/7/2022), indeks saham MSCI Asia ex-Jepang sudah anjlok 20%  sepanjang tahun ini (ytd) seiring investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) hingga USD71 miliar atau sekitar Rp1.057 triliun (asumsi kurs Rp14.900/USD) di pasar berkembang Asia di luar China. Angka ini lebih tinggi dua kali lipat dari outflow pada tahun lalu.

Penguatan dolar di pasar global akhir-akhir ditopang oleh sentimen soal kekhawatiran pasar atas aksi kerek bunga acuan secara agresif a la bank sentral AS alias The Fed. The Fed sendiri menaikkan suku bunga di tengah inflasi AS yang menyundul langit.

Dolar AS yang menguat bisa menjadi sinyal buruk bagi saham Asia karena itu bisa berarti adanya penurunan selera risiko investor. Maksudnya, investor jadi cenderung menjauhi aset-aset berisiko macam saham.

Belum lagi, menguatnya dolar bisa menjadi kabar buruk bagi pertumbuhan negara berkembang, terutama negara yang bergantung pada impor yang menggunakan dolar.

Indeks Bloomberg JPMorgan Asia Dollar tercatat telah merosot 6% sepanjang tahun ini, menuju kerugian tahunan terburuk sejak krisis keuangan kawasan ini pada 1997.

"Dolar menguat karena ada penghindaran risiko (risk aversion) daripada pertumbuhan," kata head of Asian equities Zhikai Chen di BNP Paribas Asset Management kepada Bloomberg. Dan hal tersebut ‘bukan campuran yang baik’ untuk aset saham Asia, imbuhnya.

Pasar saham yang didominasi perusahaan-perusahaan teknologi seperti Korea Selatan (Korsel) dan Taiwan cenderung rentan di tengah rezim aksi kerek suku bunga agresif saat ini.

Hal tersebut ditandai, salah satunya, dengan imbal hasil (yield) obligasi global yang naik dan potensi resesi yang bisa ‘menghajar’ valuasi dan proyeksi permintaan ke depan.

Indeks acuan kedua di Korsel dan Taiwan menjadi salah satu yang terburuk di kawasan Asia tahun ini, dengan asing sudah melakukan net sell secara total USD50 miliar.

Beralih ke India, yang dikenal sebagai importir besar dunia, mata uang rupee jatuh ke rekor terendah di tengah negara tersebut mengalmai defisit negara berjalan dan fiskal.

Bagi pasar saham negara yang kurang mengandalkan ekspor, pelemahan mata uang lokal turut memperburuk neraca ekonomidan margin keuntungan perusahaan. Ini karena perusahaan dan negara peminjam bakal menanggung pembayaran yang lebih besar atas utang dalam dolar.

Tidak hanya India, pasar saham China juga anjlok bulan ini. Indeks saham Hong Kong ambles lebih dari 9% di tengah kekhawatiran atas Covid, krisis properti, dan aksi galak pemerintah lewat regulasi anyar terhadap sektor teknologi.  

Menanggapi fenomena tersebut, chief investment officer di New York-based hedge fund Ironhold Capital Siddharth Singhai, berpendapat, terkadang ‘tetesan’ aliran dana asing yang keluar bisa dengan cepat berubah menjadi ‘banjir’.

 “Investor asing sangat plin-plan. Mereka cenderung bergerak masuk dan keluar dengan sangat cepat,” jelas Singhai.

Dia menambahkan, sektor infrastruktur asia, pembangunan perumahan, hingga emiten konstruksi akan lebih terpengaruh terhadap penguatan dolar lantaran kepekaan sektor tersebut terhadap suku bunga. Sektor infrastruktur memang cenderung mengandalkan utang untuk pembangunan proyek.

Sementara, investment director for Asia equities di abrdn plc Christina Woon menyoroti efek lainnya dari segi ekspor terhadap penguatan dolar.

"Dari perspektif aliran [dana asing] dan sentimen, ya saham Asia cenderung berkinerja buruk dalam jangka pendek terhadap dolar yang meningkat,” jelas Christina.

 “[Namun] Anda juga dapat menemukan sejumlah penerima manfaat, seperti eksportir, atau perusahaan yang lebih fokus di dalam negeri di mana penguatan dolar tidak menjadi masalah,” pungkasnya.

Nasib IHSG

Di tengah gejolak global saat ini--inflasi, suku bunga tinggi, sampai risiko resesi—Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya ikut goyah juga.

Setelah sempat menyentuh rekor 7.276,19 pada April lalu, tren kenaikan IHSG ‘patah’ dan sempat anjlok ke 6.598 pada Mei.

Semenjak itu, IHSG terus berfluktuasi dan masih belum kembali dalam model ‘penuh’ kembali sampai awal Juli ini.

IHSG turun 0,94% dalam sepekan, per Senin (18/7) ditutup di 6.659,25. Sementara, dalam sebulan anjlok 4,55%.

Kendati, sejak awal tahun (ytd), IHSG masih naik 1,18%, masih yang terbaik di kawasan Asia-Pasifik.

Dana asing sendiri sudah keluar dari pasar saham dengan nilai jual bersih Rp2,32 triliun sepekan, net sell Rp9,22 triliun di pasar reguler dalam sebulan.

Sementara, asing masih melakukan beli bersih Rp46,81 triliun di pasar reguler ytd atau Rp56,85 triliun di seluruh pasar per Senin (18/7).

Rupiah Loyo

Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar juga turut membuat investor khawatir.

Secara ytd, rupiah sudah melemah 5,03% terhadap dolar AS ke posisi Rp14.981/USD per penutupan Senin (18/7).

Nilai Tukar USD/Rupiah Sejak Awal Tahun (YTD)

Sumber: Bloomberg

Sepekan ini, perhatian investor saham domestik tertuju pada pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) 20-21 Juli atau Rabu-Kamis pekan ini.

Soal hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, misalnya, mengatakan bahwa harus ada beberapa langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia terkait hal ini. 

Menurutnya, yang paling utama yang harus dilakukan pemerintah adalah pemerintah melalui Bank Indonesia harus menaikkan suku bunga. 

''Saran saya kenaikan ini sampai 50 basis point untuk RDG bulan Juli ini,'' jelasnya kepada MPI, Sabtu (16/7/2022).

BI sendiri sudah menahan suku bunga di level 3,5% atawa terendah sepanjang sejarah selama 16 bulan beruntun. (ADF)

SHARE