Lima Saham Murah yang Belum ke Mana-Mana, Value Trap?
Saham dengan valuasi murah menarik untuk dikoleksi, akan tetapi investor perlu memilih dengan cermat supaya tidak terjebak dalam value trap.
IDXChannel –Berinvestasi di saham bervaluasi murah dengan fundamental yang baik dan prospek yang cerah di masa depan bisa mendatangkan ‘cuan’. Namun, investor perlu memilih dengan cermat supaya tidak terjebak dalam value trap.
Dalam berinvestasi di saham, terdapat strategi value investing, yakni membeli saham dengan harga murah dengan harapan akan melonjak di waktu medatang sehingga mendatangkan keuntungan yang besar.
Warren Buffett, salah satu orang terkaya di dunia yang sumber kekayaannya berasal dari investasi saham, juga menerapkan strategi ini. Sementara di Indonesia, salah satu investor ternama yang turut menerapkan strategi value investing adalah Lo Kheng Hong.
Asal tahu saja, Warren Buffett dikenal karena menerapkan value investing ketika mengambil alih Berkshire Hathaway (BRK) pada tahun 1964 yang pada saat itu kinerjanya sedang ambruk. Di tahun itu, Warren Buffet membeli saham perusahaan tekstil tersebut seharga USD12,37/saham.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, saham BRK, yang kemudian menjadi kendaraan investasi Buffett, semakin bertumbuh, bahkan saat ini harganya mencapai USD399.251/saham.
Sama seperti Warren Buffett, Lo Kheng Hong juga gemar mengoleksi saham dengan harga murah tapi memiliki potensi untuk tumbuh.
Adapun pria yang disapa Pak Lo tersebut kerap menyebutkan jargon ‘Mercy (Marcedez Benz) yang dijual di harga bajaj’ untuk menganalogikan saham yang harganya jauh lebih rendah dibanding valuasi wajarnya.
Dengan demikian, berinvestasi dengan strategi value investing berarti membeli saham di bawah harga wajar atau saham undervalue yang kemudian dijual di harga wajarnya.
Meskipun mendatangkan ‘cuan’ yang besar, investor perlu mencermati emiten yang memiliki saham undervalue berdasarkan kinerja perusahaan termasuk laporan keuangannya.
Dalam berinvestasi dengan strategi value investing, para investor perlu menganalisa kondisi fundamental perusahaan dengan mengamati pergerakan saham hingga prospek perusahaan ke depan.
Jika perusahaan dengan saham undervalue tersebut memiliki kinerja yang baik maka harga yang terbentuk di pasar akan mengikuti nilai perusahaan tersebut. Kendati strategi ini menguntungkan, investor perlu berhati-hati terhadap value trap.
Informasi saja, value trap merupakan saham yang memiliki harga murah karena rendahnya valuasi saham emiten dalam kurun waktu yang lama.
Saham emiten yang terkena value trap seringkali sedang mengalami kesulitan keuangan dan punya potensi pertumbuhan yang mini. Pada gilirannya, harganya tidak kemana-mana.
Dalam menghitung valuasi suatu saham dapat dilihat dari price to earnings ratio (PER) maupun price to book value (PBV). Rasio PER merupakan perbandingan harga saham dengan laba per saham, sedangkan PBV digunakan sebagai pembanding harga saham dengan nilai buku per sahamnya.
Bila suatu saham memiliki rasio PER di bawah 10 kali atau rasio PBVnya di bawah 1 kali, maka dapat dikatakan valuasinya dianggap murah. Selain itu, angka PER maupun PBV yang lebih rendah dibanding rasio industrinya bisa menandakan saham tersebut lebih murah.
Dengan nilai PER dan PBV yang murah, investor sering kali terjebak dalam value trap karena hanya melihat dari sisi valuasi yang dianggap murah.Padahal, kinerja perusahaan hingga harga sahamnya tidak serta merta bertumbuh mengikuti valuasi wajarnya.
Saham Murah atau ‘Murahan’?
Value investor tentunya mencari saham dengan valuasi rendah yang bisa menjadi indikasi bahwa harga sahamnya lebih tinggi dari harga yang seharusnya. Akan tetapi, pada kenyataannya, terdapat saham undervalue yang harga sahamnya justru stagnan.
PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) misalnya, emiten yang bergerak di bidang perdagangan emas tersebut memiliki valuasi yang sangat murah. Adapun PERnya hanya 3,53 kali sendangkan PBV-nya 0,59 kali.
Namun demikian, harga saham HRTA cenderung tidak berkembang sejak melantai perdana di bursa pada tahun 2017 lalu.
Adapun harga penawaran perdana HRTA yakni Rp300/saham, sementara harga tertingginya hanya menyentuh Rp350/saham pada 29 Juli 2019. Sedangkan Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, harga saham HRTA pada Rabu (12/10) berada di level Rp202/saham.
Contoh lainnya, yakni PT Panca Multiperdana Tbk (PMMP) yang juga punya valuasi murah tetapi harga sahamnya tak berkembang. PER dari PMMP sebesar 4,70 kali sedangkan PBVnya hanya 0,76 kali. (Lihat tabel di bawah ini.)
Kinerja saham emiten yang melantai di bursa sejak tahun 2020 tersebuttetap stagnan berada di bawah rule of thumb PER 10 kali.
Menurut data BEI, harga saham tertinggi PMMP sempat mencapai Rp600/saham pada 3 Agustus 2022 (menceminkan PER 8,20 kali). Sementara harga sahamnya saat ini, per Rabu (12/10), hanya di angka Rp380/saham.
Asal tahu saja, emiten yang bergerak di bidang pengolahan makanan beku berbasis udang tersebut dikoleksi oleh Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo. Pada tahun 2021, Kaesang membeli 8 persen saham PMMP, melalui perusahaannya yaitu PT Harapan Bangsa Kita.
Adapun saat ini, kapitalisasi pasar atau market cap dari PMMP mencapai Rp903,55 miliar.
Selain kedua emiten di atas, emiten lain dengan valuasi murah namun harga sahamnya tetap undervalue adalah PT Satyamitra Kemas Lestari Tbk (SMKL).
Melansir data BEI, harga saham SMKL pada penutupan Rabu (12/10) berada di level Rp280/saham. Emiten pengemasan karton tersebut resmi melantai di bursa sejak 11 Juli 2019 dengan harga Initial Public Offering (IPO) sebesar Rp193/saham. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sejak melantai di bursa, saham SMKL kerap berada di level Rp200-an/saham. Walaupun memang, emiten ini pernah mencapai harga tertingginya di level Rp545/saham pada 20 Desember 2021 dan 3 Januari 2022.
Rasio PER emiten ini sebesar 8,15 kali sedangkan PBVnya mencapai 1,10 kali. Adapun kapitalisasi pasar emiten ini mencapai Rp970,74 miliar.
Kinerja Saham Merosot Saat Keuangan Melesat
Selain mencatatkan kinerja saham yang di bawah harga wajar dalam kurun waktu lama, emiten dengan saham undervalue di atas juga memiliki kinerja saham secara year to date (YTD) yang anjlok.
PT Integra Indocabinet Tbk (WOOD), misalnya, terkontraksi paling dalam.
Melansir data BEI pada Rabu (12/10), harga saham WOOD sepanjang 2022 ambles hingga minus 44,52 persen.
Meski kinerja sahamnya ambruk, di sisi lain keuangan emiten mebel ini malah mencatatkan kinerja terbaik dibanding emiten dengan saham undervalue lainnya.
Dilansir dari laporan keuangan emiten di semester I-2022, pendapatan bersih WOOD melonjak hingga 46,51 persen secara year on year (yoy). Sementara laba bersihnya juga melesat hingga 36,75 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Adapun pada semester I-2022 WOOD memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp3,13 triliun sedangkan laba bersih yang dibukukan mencapai Rp299,89 miliar.
Melesatnya pendapatan bersih WOOD di semester ini ditopang oleh melonjaknya berbagai segmen pendapatan secara signifikan. Sementara pendapatan dari sektor kehutanan meroket hingga 951,80 persen menjadi Rp83,39 miliar di semester I-2022 dari Rp7,93 miliar di semester I-2021.
Sedangkan pendapatan dari sektor lokal juga mencatatkan pertumbuhan yang melesat. Di segmen ini, pendapatan dari furnitur knock down (bongkar pasang) melesat hingga 133,78 persen sedangkan building component naik hingga 81,07 persen.
Adapun baik segmen furnitur knock down maupun building component masing-masing menyumbang pendapatan bersih sebesar Rp6,11 miliar dan Rp31,74 miliar.
Selain ketiga segmen tersebut, ekspor dari building component juga menyumbang pendapatan bersih sebesar Rp2,15 triliun atau tumbuh hingga 84,51 persen secara yoy.
Tak hanya WOOD, emiten yang sahamnya undervalue lainnya juga mencatatkan kinerja keuangan yang apik meskipun sahamnya merosot berjamaah sepanjang 2022.
SMKL misalnya, yang sahamnya secara YTD anjlok paling dalam tetapi kinerja keuangannya masih tumbuh. Menurut data BEI pada Rabu (13/10), harga saham SMKL anjlok hingga minus 46,15 persen secara YTD.
Sementara pendapatan bersih maupun laba bersih emiten masih tumbuh positif masing-masing 17,47 persen dan 45,66 persen. Adapun pendapatan bersih yang dicatatkan di semester I-2022 sebesar Rp1,13 triliun, sedangkan laba bersihnya sebesar Rp59,57 miliar. (Lihat tabel di bawah ini.)
Menyusul SMKL, PMMP dan HRTA juga mencatatkan kinerja keuangan yang melesat. Dari segi pertumbuhan pendapatan bersih maupun laba bersih, HRTA lebih unggul.
Pendapatan bersih HRTA melesat hingga 31,18 persen menjadi Rp3,22 triliun di semester I-2022. Sementara laba bersih yang dibukukan sebesar Rp133,24 miliar atau tumbuh 40,66 persen.
Sedangkan PMMP, baik pendapatan bersih maupun laba bersihnya masing-masing tumbuh hingga 17,22 persen dan 5,02 persen secara yoy.
Berdasarkan laporan keuangan emiten di semester I-2022, PMMP memperoleh pendapatan bersih sebesar USD100,54 juta atau senilai Rp1,54 triliun dengan asumsi kurs Rp15.300/USD.
Sementara laba bersih yang dibukukan PMMP di periode ini mencapai USD6,46 juta atau setara dengan Rp98,80 miliar.
Sedangkan dari kinerja sahamnya, kedua emiten ini sama-sama mencatatkan kinerja saham yang terkontraksi sepanjang 2022.
Melansir data BEI pada Rabu (12/10), saham PMMP merosot hingga minus 21,49 persen secara YTD. Sementara saham HRTA juga turun hingga minus 4,72 persen sepanjang 2022.
Selain emiten-emiten di atas, emiten dengan saham undervalue, PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) turut mencatatkan kinerja saham yang anjlok secara YTD. Menurut data BEI di periode yang sama, kinerja saham TBLA terkontraksi hingga minus 8,18 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Meski demikian, kinerja keuangan emiten yang bergerak di bidang perkebunan sawit tersebut masih tumbuh positif walaupun pertumbuhannya masih kalah unggul dibanding emiten dengan saham undervalue lainnya.
Dilansir dari laporan keuangan emiten di semester I-2022, pendapatan bersih TBLA tumbuh sebesar 17,17 persen menjadi Rp8 triliun. Sedangkan laba bersih yang dibukukan TBLA di periode ini hanya tumbuh 0,62 persen menjadi Rp381,90 miliar.
Meski masih mencatatkan pertumbuhan keuangan yang baik, emiten dengan valuasi rendah masih mencatatkan performa saham yang ambruk sepanjang YTD disertai harga saham yang pertumbuhannya tak begitu signifikan dalam kurun waktu lama.
Hal tersebut bisa jadi karena kurangnya katalis positif yang mendorong kinerja saham perusahaan.
Bila perusahaan tak memiliki rencana ekspansi maupun manuver dalam mengembangkan perusahaan, singkatnya tanpa story yang menarik, maka investor juga kurang berminat dalam berinvestasi di perusahaan tersebut.
Kendati demikian, meskipun saham emiten di atas pada saat ini masih belum berkembang atau keluar dari harga yang rendah, belum tentu di masa mendatang kinerjanya bakal tetap stagnan.
Bisa jadi, saham dari emiten tersebut bisa tumbuh dan keluar dari harga yang rendah atau malah kembali terkontraksi.
Periset: Melati Kristina
(ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.