Rupiah Hari Ini Tumbuh Rp14.342, Pasar Asia Cermati Update Baru Rusia-Ukraina
Nilai mata uang rupiah di pasar spot hari ini tumbuh atas dolar Amerika Serikat pada perdagangan Selasa pagi (5/4/2022).
IDXChannel - Nilai mata uang rupiah di pasar spot hari ini tumbuh atas dolar Amerika Serikat pada perdagangan Selasa pagi (5/4/2022).
Berdasarkan data Bloomberg, hingga pukul 09:20 WIB, mata uang Garuda naik 14 poin atau 0,09% di Rp14.342 per 1 dolar Amerika Serikat.
Pasar uang di kawasan Asia Pasifik bergerak mixed atas dolar AS. Data Investing menunjukkan Dolar Hong Kong turun -0,01% di 7,8353, Won Korea Selatan naik 0,06% di 1.213,80, dan Ringgit Malaysia tertekan -0,06% di 4,2175.
Dolar Taiwan koreksi -0,09% di 28,646, Baht Thailand turun -0,22% di 33,515, Dolar Singapura anjlok -0,01% di 1,3566, dan Yuan China tertekan -0,01% di 6,3638. Adapun Yen Jepang naik 0,22% di 122,50, Dolar Australia koreksi -0,01% di 0,7541, dan Peso Filipina menjulang 0,12% di 51,280.
Indeks dolar yang mengukur kinerja sejumlah mata uang lainnya koreksi di level 98,95, setelah menguat selama tiga sesi berturut-turut merespons kabar terbaru perang Rusia dan Ukraina. Hal ini mendorong investor mencari aset safe-haven di greenback.
Dolar sebelumnya sempat diuntungkan dari data pekerjaan non-pertanian AS pada Maret 2022 yang mendukung ekspektasi tambahan pengetatan setengah poin oleh Federal Reserve pada bulan depan.
"Dolar melambung lebih tinggi karena perkembangan geopolitik terbaru," kata Analis Pasar Western Union Business Solutions Joe Manimbo, dilansir Reuters, Selasa (5/4/2022).
Data pada Jumat lalu (1/4) menunjukkan angka pengangguran AS pada Maret 2022 mencapai level terendah selama dua tahun sebesar 3,6%. Hal ini membuat pasar menilai apakah angka tersebut akan memperkuat langkah Fed dengan menaikkan suku bunga agresif untuk mengatasi inflasi.
Sementara itu sanksi embargo terhadap Rusia juga terus menjadi perhatian pasar mengingat pasokan minyak dan gas Kremlin dinilai sangat dibutuhkan.
"Sanksi yang lebih banyak tentu menunjukkan bahwa risiko gangguan energi di Eropa meningkat," kata Analis Mata Uang Commerzbank, Ulrich Leuchtmann.
(NDA)