Saham 'Boncos', Masa Depan Bank Digital Ikutan Redup?
Riset IDX Channel, Kinerja saham bank digital cenderung melempem tahun ini setelah meroket sepanjang 2021. Lantas, bagaimana prospeknya ke depan?
IDXChannel - Kinerja saham bank digital cenderung melempem tahun ini setelah meroket sepanjang 2021. Lantas, bagaimana prospek bank digital ke depan?
Dalam tulisan ini, Tim Riset IDX Channel merangkum kinerja harga saham beberapa bank digital sepanjang tahun ini dan bagaimana nasib industri bank digital di masa yang akan datang.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), bila ditinjau dari kinerja Year to Date (YTD), performa saham bank digital masih memerah. Tercatat empat emiten memiliki kinerja saham YTD yang negatif, yakni ARTO, BBYB, BBHI, dan BANK.
BBYB memiliki performa harga saham terburuk secara YTD, yakni minus 52,28 persen. Namun, dalam setahun terakhir harga saham BBYB masih melonjak 128,99%.
Selain BBYB, ARTO juga memiliki performa harga saham negatif, yakni minus 48,75 persen secara YTD pada Kamis (7/6/2022). Meski diwarnai pertumbuhan negatif secara YTD, Bank Amar Indonesia mencetak pertumbuhan positif kinerja sahamnya secara YTD. Adapun BEI mencatat pertumbuhan harga saham emiten tersebut secara YTD yakni sebesar 11,41 persen.
Perbandingan Kinerja Saham Bank Digital Vs Bank Konvensional
Sumber: Tim Riset IDX Channel, Bursa Efek Indonesia (BEI), Juni 2022 (data olahan)
Bila dibandingkan dengan bank digital, harga saham secara YTD bank konvensional mencatatkan kinerja yang lebih positif. Bank Negara Indonesia (BBNI) misalnya, memiliki kinerja YTD paling baik dari antara bank konvensional lainnya, yaitu sebesar 31,85 persen. Selain BBNI, BMRI juga mencatatkan kinerja harga saham secara YTD yang baik pula, yakni mencapai 18,15 persen, per Rabu (7/6/2022).
Harga Melambung Tinggi, Kinerja Saham Bank Digital Tahun 2022 Merosot
Kinerja bank digital di awal tahun ini tampak suram salah satu penyebabnya adalah harga saham sepanjang 2021 sudah mencatatkan kenaikan harga yang terlalu tinggi sehingga valuasinya menjadi mahal. Sebagai perbandingan, price to book value atau PBV saham bank digital melambung tinggi dibandingkan bank konvensional. Contohnya, PBV BANK mencapai 25,95x padahal PBV tertinggi bank konvensional, yakni BBCA hanya sebesar 4,67x.
Sebagai informasi, PBV adalah ukuran yang berfungsi untuk melihat apakah harga saham di suatu emiten dapat dikatakan mahal atau murah. Nilai PBV sendiri didapat dari pembagian harga per lembar saham emiten dengan nilai buka atau book value.
Adapun emiten bank digital lainnya juga mencatatkan PBV yang tingginya diatas bank konvensional. Emiten tersebut adalah ARTO (13,74x), BBHI (13,49x), dan BBYB (4,8x).
Selain PBV yang tinggi, kinerja keuangan bank digital masih kalah unggul dibanding bank konvensional yang memang sudah lama berkecimpung di dunia perbankan. Bank Rakyat Indonesia (BBRI) misalnya, berhasil mencetak laba tahun berjalan sebesar Rp12,2 triliun atau tumbuh 78,13 persen secara year on year (yoy) pada triwulan pertama tahun ini.
Selain BBRI, BMRI juga mencatatkan pertumbuhan laba tahun berjalan yang baik. Menurut laporan keuangannya, BMRI membukukan labanya sebesar Rp10,89 triliun. Angka tersebut tumbuh sebesar 67,11 persen dibanding periode yang sama di tahun lalu.
Adapun dari segi pendapatan bunga syariah, emiten bank konvensional ini juga turut mencatat pertumbuhan sebesar 17,11 persen secara yoy. Pendapatan bunga syariah BMRI pada Triwulan I-2022 tercatat sebesar Rp20,48 triliun, padahal di tahun sebelumnya pendapatannya hanya sebesar Rp17,49 triliun.
Memang, sejumlah bank digital memperoleh kenaikan pendapatan bunga bersih yang signifikan seperti ARTO (844,95 persen), BBHI (252,42 persen), dan BBYB (241,69 persen). Akan tetapi, mayoritas dari emiten bank digital masih merugi. BBYB misalnya, masih menderita rugi sebesar Rp416,73 miliar. Kedua bank lainnya juga masih mengalami rugi, yakni BANK (Rp43,98 miliar) dan AMAR (Rp8,8 miliar).
Prospek Bank Digital Diramal Cerah
Menurut laporan cetak biru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2021 yang berjudul “Transformasi Digital Perbankan”, tingkat kematangan digital dari bank di Indonesia dilihat dari aspek data, teknologi, kolaborasi, dan customer rata-rata bank di Indonesia dinilai cukup memadai walau belum optimal.
Sementara dari penilaian tingkat kematangan digital rata-rata bank di Indonesia pada dimensi manajemen resiko berada di angka 43 persen. Sementara dalam hal tatanan institiusi, nilai kematangannya sebesar 46 persen.
“Hasil tersebut menunjukkan bahwa strategi digitalisasi perbankan yang diikuti dengan adopsi emerging technology dan pengelolaan data dalam layanan dan produk bank masih belum didukung oleh kapasitas organisasi serta manajemen risiko yang memadai,” tulis laporan tersebut.
Rasio Rata-Rata Nilai Tingkat Kematangan Digital Bank di Indonesia
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan (2021)
Meski demikian, OJK menyebut bahwa perbankan digital memiliki potensi yang besar di Tanah Air. Adapun faktor pendorongnya, yakni meningkatnya penetrasi internet, konsumen, transaksi digital melalui e-commerce, bank digital, maupun uang elektronik, serta tren penurunan kantor cabang.
Berdasarkan laporan OJK, terdapat peningkatan perilaku masyarakat dalam mengakses layanan perbankan dari smartphone sebesar 39,2 persen. Selain itu, Daily Social juga melaporkan bahwa pasar global untuk perbankan digital pada tahun 2026 mendatang diproyeksikan mencapai USD30,1 miliar diiringi pertumbuhan CAGR (tingkat pertumbuhan tahunan majemuk) sebesar 15,7 persen di tahun tersebut.
Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa bank digital hadir dengan perhitungan manajemen risiko yang lebih akurat. Analisis big data, machine learning, dan kecerdasan buatan (AI) membantu tingkat keberhasilan pinjaman bank.
“Penyaluran kredit dapat dipertimbangkan pada peringkat transaksi pada platform e-commerce. Ini akan sangat membantu UMKM Indonesia untuk mengakses layanan keuangan,” kata Bhima dikutip dalam laporan Daily Social bertajuk “The Rise of Digital Banking in Indonesia”, yang dirilis pada Desember 2021. (ADF)
Sumber: Riset IDX Channel, Juni 2022
Periset: Melati Kristina