MARKET NEWS

Saham Murah Jadi Incaran Investor, Benarkah Sudah Terjadi 'Value Investing is Dead'?

Yulistyo Pratomo 23/07/2021 10:28 WIB

Bagi anda yang sudah malang melintang di pasar modal pasti sudah mendengar istilah "value investing"?

Saham Murah Jadi Incaran Investor, Benarkah Sudah Terjadi 'Value Investing is Dead'? (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Bagi anda yang sudah malang melintang di pasar modal pasti sudah mendengar istilah "value investing"? Ya, strategi ini sudah mendunia sejak diperkenalkan investor terkenal di abad ke-20, yaitu Benjamin Graham.

Strategi ini ternyata juga diterapkan salah satu orang terkaya dunia, Warren Buffet. Bahkan, di Indonesia juga diterapkan oleh Lo Kheng Hong, value investor sukses Tanah Air.

Value investing adalah metode membeli saham di bawah harga wajar atau sering disebut saham undervalue, yang kemudian dijual di harga wajar. Value investing cocok untuk untuk investor yang punya tingkat kesabaran tinggi karena keuntungan maksimal justru diperoleh saat saham dijual beberapa tahun kemudian.

Ini terjadi pada saham milik PT Bank Jago Tbk (ARTO), di mana sahamnya melesat sampai 288% setelah Gojek dan GIC dari Singapura masuk sebagai investornya. Alhasil, tumbuh optimisme perusahaan yang dalam 4 tahun terakhir tak pernah membukukan keuntungan akan menjadi raja digital bank di Indonesia.

Hal yang sama juga terjadi pada emiten pengelola Hypermart PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), masuknya Gojek dan Temasek (lewat Anderson Investments Pte Ltd) membuat harga sahamnya naik melesat hingga 876% sejak awal tahun.

Terakhir akuisisi saham taksi PT Zebra Nusantara Tbk (ZBRA) oleh Rudy Tanoesoedibjo menyebabkan harga saham ZBRA terbang 700% sejak awal tahun. Kabarnya emiten ini akan ditransformasikan menjadi bisnis logistik oleh sang kakak dari bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo ini.

Jika ditilik lebih dalam, valuasi harga saham jika dibandingkan dengan nilai buku ARTO justru lebih tinggi 25 kali. Bahkan rasio harga terhadap nilai buku (price to book value/PBV) atas MPPA juga jauh lebih tinggi di angka 42 kali.

Selain itu, ZBRA hingga kuartal pertama 2021 ekuitas ZBRA tercatat masih negatif. Alhasil, nilai bukunya juga negatif.

Semua itu berubah total dengan masuknya pandemi Covid-19 ke Indonesia, yang turut menggeser pola bisnis bergeser. Ini terjadi karena cara belanja masyarakat yang mulai membeli barang melalui media online, sehingga membuat banyak perusahaan mulai melirik ranah digital.

Kondisi ini terjadi di saat konsumen mulai mengurangi kontak langsung sehingga sistem belanja mulai dilakukan secara daring. Tak hanya pembelian, bahkan pembelajaran, pemesanan makanan hingga pembukaan rekening juga dilakukan secara daring.

Alhasil, saham emiten yang berkontribusi terhadap daring membuatnya dilirik oleh pasar dan bahkan lebih mahal dibandingkan saham konvensional. Alhasil, saham-saham teknologi kini menjadi hype dan melesat kencang, yang biasanya tidak cocok dengan value investor untuk mencari saham dengan harga yang murah ataupun wajar.

Ditambah lagi aksi-aksi korporasi yang kian gencar dilakukan sejumlah perusahaan besar, seperti MNC Group, Grup Salim dan Lippo untuk mengubah pola bisnisnya ke arah digirtal. Tidak hanya itu, perusahaan gabungan Gojek dan Tokopedia alias GoTo juga gencar melakukan akuisisi dan penyuntikkan dana ke emiten-emiten strategis.

Selain swasta, hal yang sama juga terjadi pada perusahaan pelat merah, di mana terjadi penggabungan perbankan syariah yang kini berada di bawah Bank Syariah Indonesia, hingga rencana pembentukan holding ultra mikro oleh Bank Rakyat Indonesia, PMN, dan Pegadaian.

Alhasil, teknik value investing kini kurang diminati. Meski demikian, bukan berarti hal itu akan menghilang sama sekali, buka tidak mungkin value investing akan kembali booming seperti masa-masa sebelum pandemi dimulai. (TYO)

SHARE