Saham, Obligasi, dan Dolar AS Melemah Usai Moody’s Turunkan Peringkat Kredit
Hal ini memperkuat kekhawatiran terhadap daya tarik aset-aset AS.
IDXChannel - Obligasi, saham, dan dolar Amerika Serikat (USD) melemah setelah Moody’s Ratings menurunkan peringkat kredit pemerintah AS dari level tertingginya. Hal ini memperkuat kekhawatiran terhadap daya tarik aset-aset AS.
Melansir Swissinfo, Senin (19/5/2025), Kontrak S&P 500 turun 1,1 persen, dengan investor mulai mengurangi eksposur pada saham setelah reli lima hari berturut-turut.
Saham Eropa dan Asia juga ikut merosot. Imbal hasil obligasi AS tenor 30 tahun melewati angka 5 persen, naik ke level tertinggi sejak November 2023.
Di sisi lain, euro naik hingga 1,1 persen di mana semua mata uang utama menguat terhadap dolar AS.
Penurunan peringkat oleh Moody’s memperbesar kekhawatiran Wall Street terhadap pasar obligasi AS di tengah defisit anggaran yang terus membengkak tanpa tanda-tanda perbaikan.
Keputusan ini datang saat para anggota parlemen memperdebatkan pemotongan pajak baru yang belum memiliki pendanaan, sementara ekonomi diprediksi melambat dengan Trump yang memicu perang dagang global.
"Level imbal hasil obligasi AS saat ini terasa masih sejalan dengan fundamental ekonomi," ujar manajer portofolio senior di Eleva Capital, Paris, Stephane Deo.
Terkait saham, dia mengatakan wajar jika pasar membutuhkan jeda, dan penurunan peringkat Moody’s jadi alasan yang tepat untuk itu.
Moody’s bergabung dengan Fitch Ratings dan S&P Global Ratings dalam menurunkan peringkat AS ke bawah level tertinggi, triple-A.
Lembaga pemeringkat ini memberi AS prospek stabil. Meski Moody’s masih mengakui kekuatan ekonomi dan finansial AS yang signifikan, hal itu dinilai tak lagi mampu sepenuhnya mengimbangi penurunan indikator fiskal.
Pada Senin, imbal hasil obligasi tenor 10 tahun naik tujuh basis poin menjadi 4,54 persen, sementara obligasi tenor 30 tahun naik sekitar delapan basis poin ke 5,02 persen.
Sementara itu, harga emas naik 1,2 persen, didorong oleh meningkatnya permintaan atas aset aman di tengah kekhawatiran terhadap prospek ekonomi AS.
"Jika melihat sejarah, dampak dari aksi pemeringkatan biasanya hanya berlangsung sementara," kata Kepala Ekonom dan Strategi di Jefferies International, Mohit Kumar.
Namun, kata dia, konteks saat ini berbeda. Perang tarif sudah membuat banyak investor mempertanyakan kredibilitas investasi di AS dan mulai mencari alternatif.
Investor sebaiknya membeli saham-saham AS saat terjadi penurunan akibat pemotongan peringkat ini, kata Michael Wilson dari Morgan Stanley.
Strategi ini muncul karena musim laporan keuangan baru saja berakhir tanpa banyak gangguan dari isu tarif. Selain itu, ada peningkatan dalam proyeksi laba perusahaan, yang menjadi sinyal positif untuk potensi penguatan saham ke depan, meskipun data perdagangan bulan depan mungkin melemah.
"Risikonya tetap ada dan patut diperhitungkan, tapi menurut kami, pasar justru makin cenderung melihat pelemahan ini sebagai hal sementara, apalagi setelah adanya kesepakatan dagang dengan China," ujar Wilson.
Di perdagangan pra-pasar, saham-saham teknologi besar dalam kelompok Magnificent Seven kompak melemah, seiring turunnya kontrak berjangka Nasdaq 100.
Sementara itu, saham Alibaba Group Holding Ltd. juga turun 1,8 persen setelah New York Times melaporkan bahwa pemerintahan Trump khawatir soal kemungkinan kerja sama teknologi kecerdasan buatan Alibaba dengan iPhone.
Dari Asia, data menunjukkan produksi industri China tumbuh lebih tinggi dari perkiraan pada April.
Namun di sisi lain, konsumsi justru melemah, menandakan masih banyak tantangan yang harus dihadapi ekonomi nomor dua dunia ini, meskipun ketegangan dagangnya dengan AS mulai cepat mereda.
(NIA DEVIYANA)