Sosok Ini Sudah ‘Ramalkan’ Kerapuhan Fundamental SVB sejak 2022
CashFlow Hunter, sebuah akun pengamat saham, telah meramalkan kerapuhan fundamental yang dihadapi SVB pada Desember 2022 lalu.
IDXChannel – Sebelum heboh kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB), seorang pengamat pasar saham telah memprediksi bahwa SVB akan mengalami krisis karena rapuhnya fundamental hingga risiko yang ditanggung perusahaan sebagai pemberi pinjaman dana bagi startup teknologi.
Menurut pengamat pasar dengan nama akun CashFlow Hunter di media Seeking Alpha, SVB sedang mengalami masalah besar dari kerugian pada portofolio investasi perusahaan sebelum dinyatakan bangkrut. CashFlow Hunter menjelaskan, kerugian yang dilaporkan jumlahnya senilai dengan ekuitas perusahaan.
Selain itu, terdapat potensi kerugian dalam portofolio pinjaman yang sebanyak 21 persen di antaranya atau senilai USD70 miliar diberikan pada perusahaan early stage startup yang masih berada di tahap awal dalam memulai usahanya.
Sementara, dalam laporan yang ditulis pada 19 Desember tahun lalu, Seeking Alpha telah memprediksi bahwa kinerja SVB berada dalam kerapuhan karena risiko yang ditimbulkan oleh gelombang teknologi atau tech bubble.
Informasi saja, tech bubble adalah terjadinya pertumbuhan harga yang cepat dengan penilaian tinggi dari saham teknologi sehingga terlihat menguntungkan dalam jangka panjang, padahal tidak disertai dengan fundamental perusahaan yang baik sehingga justru merugikan bagi investor.
Selain menghadapi tech bubble, SVB juga mengalami kerugian yang belum direalisasi dalam portofolio pendapatan serta potensi kerugian dari portofolio pinjaman yang dapat menghapus nilai ekuitas buku.
“Masalah lainnya selain tech bubble adalah bahwa perusahaan saat ini hanya memiliki premi kecil untuk nilai buku dan kurang dari 8x pendapatan konsesus yang diproyeksikan hanya mencapai USD26,50,” tulis CashFlow Hunter, yang nama aslinya belum diketahui.
Perlambatan Kinerja Perusahaan
Sepanjang 2012 hingga 2021, SVB telah mendapatkan berkah dari sektor teknologi atau biotek dengan pertumbuhan simpanan dan pinjaman yang besar dari sektor perbankan komersial, layanan perbankan investasi, dan keuntungan portofolio investasi ekuitas dan penjaminan.
Namun demikian, berubahnya lanskap pendanaan menciptakan tantangan bagi SVB, terutama dari pengurangan dana simpanan tak berbunga (non-interest-bearing deposits) atau dana murah dibandingkan total presentase dari total simpanan.
Artinya, semakin tinggi persentase bunga, maka semakin tinggi biaya simpanan dan semakin rendah margin bunga bersih atau net interest margin (NIM).
Bahkan, pada awal Desember 2022 lalu, perusahaan ini telah menurunkan ekspektasi NIM pada kuartal IV-2022, dari 1,95 persen sampai 2,05 persen menjai 1,92 persen hingga 1,97 persen.
Akibatnya, perubahan biaya simpanan tersebut memengaruhi profitabilitas perusahaan dalam kuartal IV dan seterusnya.
“Tantangan yang jauh lebih besar selain ini dapat berasal dari potensi penurunan dana simpanan dan potensi kerugian pada pinjaman dan portofolio investasi,” kata Seeking Alpha.
Terlebih, sebesar 29 persen nasabah atau deposan SVB berasal dari perusahaan early stage startup teknologi dan 8 persennya berasal dari perusahaan early stage startup life science dan layanan kesehatan. (Lihat grafik di bawah ini.)
“Saya berasumsi, gabungan 37 persen dari deposan tersebut merupakaan perusahaan yang masih menggunakan strategi cash burn (bakar uang),” tulis kontributor Seeking Alpha yang sudah menulis di platform tersebut sejak 2014.
Sedangkan, CashFlow Hunter dalam tulisannya telah mengidentifikasi risiko lebih besar yang tengah dihadapi SVB, yakni portofolio pinjaman yang 21 persen di antaranya berasal dari early stage startup atau perusahaan yang berada di tahap inovasi.
“Masalah lain yang berdampak pada perusahaan adalah penurunan pendapatan investasi perbankan dan penurunan nilai ekuitas serta portofolio investasi surat berharga,” kata Seeking Alpha.
Di samping itu, CashFlow Hunter mencatat, SVB memiliki biaya underwriting dan M&A (merger & acquisition) yang berada di bawah tekanan. Bahkan, pendapatan dari biaya-biaya tersebut kemungkinan sudah tidak diperoleh sejak kuartal IV-2022.
Sementara, SVB selama ini mengandalkan waran dan keuntungan ekuitas sebagai sumber pendapatan, tetapi justru berubah menjadi kerugian yang diprediksi mencapai USD1 miliar.
Seiring dengan kendala-kendala di atas, lembaga pemeringkat Moody’s langsung menurunkan peringkat kredit SVB dari A3 menjadi Baa1 negative outlook.
Sejalan dengan turunnya peringkat SVB, saham mitra perbankan startup teknologi asal AS ini juga semakin ambruk hingga pada akhirnya perusahaan ini ditutup oleh regulator perbankan California pada Jumat (10/3) lalu.
Periset: Melati Kristina
(ADF)