5,5 Juta Orang Terancam Menganggur, Bila Industri Tembakau Dimatikan
Industri hasil tembakau (IHT) secara nasional mempekerjakan 5,5 juta orang. Jumlah tersebut pun terancam menganggur bila industri tembakau dimatikan pemerintah.
IDXChannel - Industri hasil tembakau (IHT) secara nasional mempekerjakan 5,5 juta orang. Jumlah tersebut pun terancam menganggur bila industri tembakau dimatikan pemerintah.
Bukan saja jutaan orang berpotensi kehilangan pekerjaan, negara juga dipandang berpotensi kehilangan pendapatan hingga ratusan triliun rupiah.
Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani (UNJANI) Cimahi, Hikmahanto Juwana mencatat, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau dan pajak pertambahan nilai (PPN) mencapai lebih dari Rp350 triliun. Anggaran bernilai jumbo ini bakal hilang, jika industri tembakau ditiadakan.
"Bila konsumsi rokok di Indonesia masih tinggi dan industri tembakau dimatikan, bisa dibayangkan berapa banyak pekerja Indonesia yang akan kehilangan pekerjaan dan berapa banyak negara akan kehilangan pendapatan,” ujar Hikmahanto melalui keterangan pers, Senin (3/6/2024).
Menurutnya, industri tembakau bukan hanya dilihat dari aspek kesehatan saja, tetapi ada pertimbangan ekonomi, sosial, dan budaya. Indonesia punya kedaulatan termasuk untuk mengatur IHT.
Hikmanto menyebut, IHT sudah menjadi warisan turun-temurun bangsa Indonesia, sehingga masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tembakau.
"Pengambil kebijakan harus paham betul tujuan mulia dibalik HTTS, bila akhirnya hanya mematikan industri tembakau di Indonesia. Jangan sampai pengambil kebijakan mematikan industri tembakau dalam negeri di tengah konsumsi rokok dari masyarakat Indonesia," paparnya.
Matinya industri tembakau di Tanah Air juga membuat Indonesia bergantung terhadap supply komoditas itu dari luar negeri. Padahal, sumber daya tembakau di dalam negeri melimpah.
“Bisa jadi justru ini akan diraup oleh industri tembakau di luar negeri, baik yang legal maupun ilegal," beber dia.
Senada, Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Sarmidi Husna berpandangan, Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) tidak tepat. Pasalnya, konsumsi barang yang diproduksi dari bahan baku tembakau merupakan sebuah kebiasaan.
"Merokok dapat berhenti kapan saja, misalnya saat puasa. Selama 12 jam perokok dapat menahan diri untuk tidak mengkonsumsi rokok tanpa merasa ketagihan,” ucap Sarmidi.
Dia mensinyalir bahwa HTTS bagian dari agenda rezim kesehatan global yang akan menghancurkan kelangsungan hidup jutaan petani tembakau yang mayoritas Nahdliyin.
Agenda global itu, lanjut dia, harus ada political will atau kebijakan pemerintah untuk melindungi dan menjamin hak ekosob keluarga para petani tembakau sebagai penghasil komoditas unggulan.
"Jangan sampai Hak Ekosob para petani terancam dan mereka selalu menjadi 'pesakitan' dengan stigma penguras anggaran kesehatan, penyebab kematian, dan seterusnya," tuturnya.
Sarmidi menegaskan, kebijakan yang terlalu ketat terhadap IHT, akan dapat mematikan IHT dan ekosistemnya, sementara perokok tidak akan berhenti merokok, tetapi mencari jalan lain mengkonsumsi rokok ilegal atau rokok impor.
Apabila hal ini terjadi, Sarmidi memastikan menambah dampak negatif lainnya. Seperti menimbulkan peningkatan pengangguran yang dapat memicu masalah sosial politik, mengganggu stabilitas dan keamanan. Sementara eksternalitas negatif yang hendak dikendalikan tidak tercapai.
Adapun, setiap 31 Mei diperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau World No Tobacco Day, tak terkecuali di Indonesia.
(SLF)