Dapat Gelar Pahlawan, Intip Profil Raden Rubini yang Ikut Melawan Penjajahan Jepang
Dokter Raden Rubini Natawisastra merupakan salah satu cendikiawan dari Kalimantan Barat (Kalbar) yang akan mendapat gelar kepahlawanan nasional.
IDXChannel - Dokter Raden Rubini Natawisastra merupakan salah satu cendikiawan dari Kalimantan Barat (Kalbar) yang akan mendapat gelar kepahlawanan nasional dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dr Rubini merupakan pria kelahiran Bandung, Jawa Barat pada 31 Agustus 1906, merupakan lulusan STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Kedokteran Bumi Putera. Pada buku Biografinya yang ditulis oleh Muhammad Rikaz Prabowo, beliau juga lulusan Nederlands Indische Artsenschool (NIAS).
Setelah lulus dari Stovia pada tahun 1930, dia memulai praktik kedokteran di Jakarta, empat tahun kemudian beliau dipindah ke Pontianak untuk bertugas sebagai Kepala Kesehatan. Beliau ternyata jatuh hati kepada Pontianak sampai menetap di sana dan sering mengunjungi pedesaan dan pedalaman.
Rubini memiliki keinginan untuk menekan angka kematian ibu dan anak karena pada saat itu masih banyak praktik bidan tradisional atau dukun beranak. Beliau membuka praktik kebidanan dan dokter di rumahnya di daerah Landraad Weg yang saat ini Jalan Jenderal Urip, Pontianak.
Rubini dikenal sebagai dokter yang rendah hati karena sering memberi pengobatan gratis atau bisa membayar dengan hasil bumi bagi mereka yang tidak mampu. Selain itu beliau juga dikenal sebagai dokter keliling dengan mengunjungi desa pedalaman menggunakan perahu.
Usaha ini mendapat dukungan penuh dari sang istri, Amalia Rubini. Hal ini dikarenakan Amalia adalah anggota Palang Merah dan juga sering berinteraksi dengan perkumpulan dokter di Pontianak untuk berbagai informasi.
Selain kesehatan, Rubu ini juga aktif pada dunia politik. Ia tergabung pada pergerakan kebangsaan lewat Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1939 di Kalbar. Bahkan ada kabar jika beliau masuk ke dalam jajaran tinggi partai tersebut. Hal ini tidak terhenti meskipun Jepang datang dan dia ikut menjadi pelopor gerakan bawah tanah.
Pada tahun 1940-an Belanda melakukan evakuasi terhadap pejabatnya karena perang pasifik serta kedatangan Jepang. Hal ini berimbas pada pelayanan kesehatan Rubini karena banyak dokter Belanda yang ikut pulang kampung.
Rubini diangkat sebagai perwira kesehatan cadangan dengan pangkat Letnan Dua setelah belanda terdesak dengan kedatangan Jepang. Dia bersama dokter-dokter pribumi lainnya yang menolak dievakuasi berjuang mengobati mereka yang berjuang melawan Jepang.
Pada tahun 1942, Parindra dibubarkan oleh Jepang dan Rubini berpura-pura mendukung kegiatan jepang dengan Nissinkai yang berfungsi menerima laporan kejahatan Jepang dari rakyat, salah satunya adalah kekerasan terhadap perempuan yang membuatnya Rubini bertekad melawan penindasan Jepang.
Jepang akhirnya menilai gerakan tersebut sebagai ancaman, sehingga semua aktivis bergabung dengan Pemuda Ahmadiyah untuk membicarakan langkah perjuangan ke depan. Sampai pada awal tahun 1943 menerima dr Susilo dan Makaliwey yang datang dari Banjarmasin membawa kabar perlawanan untuk Jepang pada Desember 1943 dan meminta Pontianak bergabung.
Dari laporan Jepang, Rubini membentuk pasukan bersenjata yang bernama “Soeka Rela”. Namun nasib tidak berpihak pada Rubini karena rencananya diketahui jepang dan mulai melakukan penangkapan pada beliau dan rekan-rekannya pada Oktober 1943.
Koran Borneo Shimbun mewartakan bahwa Jepang mengeksekusi 48 orang yang dianggap pemimpin perlawanan termasuk Rubini dan Istrinya, Amalia. Atas jasanya, nama Rubini diabadikan di sejumlah tempat, seperti nama jalan di Kota Mempawah di Pontianak dan di Bandung, serta RSUD di Mempawah. Namanya juga menjadi nama taman di Mempawah.
Menurut Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Mahfud MD, Raden Rubini Natawisastra menjalankan misi kemanusiaan sebagai dokter keliling pada era kemerdekaan.
Penulis: Ahmad Fajar
(FRI)