Jakarta Masih Wacana, 4 Negara Ini Sudah Lebih Dulu Terapkan ERP
Pemprov DKI Jakarta baru mewacanakan penerapan Electronic Road Pricing (ERP). Namun, sejumlah negara sudah lebih dulu menerapkan ERP dan sukses.
IDXChannel – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baru mewacanakan penerapan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP). Namun, sejumlah negara sudah lebih dulu menerapkan ERP dan terbukti berhasil mengatasi kemacetan.
Bahkan, negara-negara yang sudah lebih dulu menerapkan ERP itu sukses meningkatkan pendapatan negara yang dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur.
Asal tahu saja, wacana penerapan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) kembali digaungkan Pemprov DKI Jakarta dengan tujuan untuk mengurai kemacetan dan agar masyarakat beralih ke transportasi umum.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata sekaligus Ketua Bidang Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengungkapkan berbagai negara yang sudah berhasil dalam penerapan ERP.
“Mr. G Menon (penggagas road pricing di Singapura) pada 2010 pernah bilang bahwa kondisi angkutan umum di Jakarta (waktu itu masih 8 koridor bus Transjakarta) jauh lebih baik dibandingkan Singapura, ketika memulai menerapkan road pricing di tahun 1975,” kata Djoko dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat (20/1/2023).
1. Oslo, Norwegia
Oslo di Norwegia menerapkan ERP dengan jenis pemungutan revenue generation pada 27 titik pembayaran. Tarif yang dikenakan antara USD5 (Rp75 ribu)–USD18 (Rp272 ribu) dan beroperasi selama 24 jam untuk tujuh hari (setiap hari).
“Pemasukan bruto per tahun mencapai USD400 juta (Rp6 miliar) dan biaya operasional USD45 juta (Rp680,4 miliar) atau 11 persen. Terjadi penurunan lalu lintas (peak/off peak) sebesar 10 persen,” ujar Djoko.
2. Stockholm, Swedia
Stockholm di Swedia menjadikan ERP sebagai pajak yang dikenakan pada kendaraan ketika memasuki Stokholm. Kebijakan ini dinamai Stockholm Congestion Tax (SCT) dan berlaku efektif 1 Agustus 2007 setelah uji coba selama tujuh bulan.
“Jenis pemungutan di sana dinamakan congestion charging dengan 18 titik pembayaran. Tarif yang dikenakan antara USD1,40 (Rp21.160)–USD2,85 (Rp43.712) dan beroperasi mulai pukul 06.30 hingga 18.29 dari hari Senin hingga Jumat, kecuali bulan Juli,” ungkap Djoko.
Pemasukan bruto per tahun dari congestion charging mencapai USD125 juta (Rp1,88 miliar) dan biaya operasional USD23 juta (Rp347,6 miliar) atau 18 persen. Penurunan lalu lintas terjadi pada peak 25 persen dan kondisi off peak sebesar 20 persen.
3. London, Inggris
ERP di London, Inggris digagas pada 1964 oleh Ahli Ekonomi Robert Smith dengan konsep road charging. Kebijakan dimulai 17 Februari 2003 oleh Wali Kota London Kenneth Robert Livingstone (2000-2008).
Kota ini menerapkan jenis pemungutan congestion charging di semua kawasan atau area. Tarif yang dikenakan antara USD13,60 (Rp206.249)–USD18,20 (Rp276.010) dan beroperasi pada pukul 06.30 hingga 18.00.
Pemasukan bruto per tahun mencapai USD450 juta (Rp6,79 triliun) dan biaya operasional USD300 juta (Rp4,5 triliun) atau 67 persen. Terjadi penurunan lalu lintas pada peak dan off peak sebesar 20 persen.
4. Singapura
Terakhir adalah Singapura yang merupakan negara pertama dalam pengaplikasikan ERP pada 1998. Awalnya disebut urban road user charging. Sebelum ERP, Singapura menggunakan Area-Licensing Scheme (ALS).
Pada 1998, ALS diganti dengan Electronic Road Pricing (ERP) yang menerapkan jenis pemungutan congestion charging di 42 titik pembayaran. Tarif yang dikenakan antara USD0,40 (Rp6.169)–USD 6,20 (Rp93.712). Ini beroperasi mulai pukul 07.00 hingga 21.30 dan tarif bisa berubah sesuai dengan jam.
Pemasukan bruto per tahun mencapai USD65 juta (Rp981,3 miliar) dan biaya operasional USD12,25 juta (Rp184,9 miliar) atau 19 persen. Terjadi penurunan lalu lintas pada peak dan off peak sebesar 25 persen.
(YNA)