Musim Kemarau Belum Merata, BMKG Sebut Melemahnya Angin Monsun Australia Jadi Penyebab
Cuaca ekstrem masih kerap melanda sejumlah wilayah di Indonesia pada periode akhir Mei 2025, meskipun secara klimatologis telah memasuki musim kemarau.
IDXChannel - Cuaca ekstrem masih kerap melanda sejumlah wilayah di Indonesia pada periode akhir Mei 2025, meskipun secara klimatologis telah memasuki musim kemarau. Bahkan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat dalam sepekan ke belakang, masih terjadi hujan di sebagian wilayah Indonesia.
Hujan ekstrem terjadi di Raja Haji Fisabilillah, Kepulauan Riau dengan intensitas hujan sebesar 155.4 mm/hari pada 29 Mei, dan di Bantilan, Sulawesi Tengah mencapai 193.2 mm/hari pada 27 Mei.
BMKG mengatakan, intensitas hujan yang cukup tinggi yang terjadi dalam beberapa hari terakhir di sejumlah wilayah Indonesia dipicu oleh kombinasi beberapa fenomena atmosfer, yaitu MJO (Madden-Julian Oscillation) dan gelombang-gelombang atmosfer (Rossby Ekuatorial, Kelvin, dan Low Frequency).
“Selain itu, lemahnya angin monsun Australia terutama di wilayah selatan Indonesia, memberikan pengaruh terhadap musim kemarau yang belum merata terjadi di wilayah Indonesia,” kata BMKG dalam keterangan resminya, Rabu (4/6/2025).
BMKG mengungkapkan, hal ini terlihat dari Indeks Monsun Australia yang berada di bawah nilai klimatologisnya, serta tertahannya massa udara kering di wilayah Samudera Hindia selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Timur. Pelemahan tersebut turut memicu pembentukan daerah-daerah perlambatan angin (konvergensi) dan pertemuan angin (konfluensi) di sekitar ekuator, sehingga mendorong pertumbuhan awan-awan konvektif di wilayah-wilayah tersebut.
Kondisi atmosfer yang relatif basah masih berpotensi terjadi dalam sepekan ke depan, khususnya di wilayah Indonesia bagian selatan, yang diperkuat oleh dinamika tropis dan topografi wilayah itu sendiri. Aktivitas gelombang ekuator seperti Madden–Julian Oscillation (MJO) dan gelombang Kelvin meningkatkan peluang terbentuknya awan-awan konvektif.
Di sisi lain, BMKG mencatat labilitas atmosfer skala lokal, baik dari interaksi angin darat/laut maupun dari faktor geografis lainnya, turut memperkuat proses konvektif di wilayah selatan Indonesia. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan hujan lokal dengan intensitas sedang hingga lebat pada siang hingga sore hari yang disertai kilat/petir yang tidak merata dengan waktu singkat.
Mengingat atmosfer bersifat sangat dinamis, BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap potensi cuaca ekstrem, meskipun pada wilayah yang sudah memasuki musim kemarau. Dalam sepekan ke depan, beberapa wilayah di Sulawesi, Maluku Utara, dan Sebagian wilayah di Pulau Papua masih berpotensi mengalami hujan berdurasi lama.
“Meskipun demikian, hujan deras berdurasi singkat yang disertai petir, kilat, dan angin kencang masih mungkin terjadi secara tiba-tiba di berbagai daerah. Oleh karena itu, BMKG terus mengimbau masyarakat akan pentingnya memantau informasi cuaca resmi dan mengambil langkah mitigasi yang diperlukan guna mengurangi dampak risiko bencana hidrometeorologi,” katanya.
(Dhera Arizona)