News

Pertumbuhan Ekonomi Asia-Pasifik Diprediksi Melambat Jadi 3,7 Persen pada 2025

Wahyu Dwi Anggoro 20/02/2025 08:39 WIB

Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di seluruh kawasan Asia-Pasifik diperkirakan melambat menjadi 3,7 persen pada 2025.

Pertumbuhan Ekonomi Asia-Pasifik Diprediksi Melambat Jadi 3,7 Persen pada 2025. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di seluruh kawasan Asia-Pasifik diperkirakan melambat menjadi 3,7 persen pada 2025, turun dari 3,9 persen di 2024.

Dilansir dari Bernama pada Kamis (20/2/2025), Moody's Analytics mengatakan, kawasan Asia-Pasifik akan tertekan ketidakpastian perdagangan global sepanjang 2025.

"Amerika Serikat (AS) melancarkan serangkaian tarif yang menargetkan kawan dan lawan, termasuk tarif 10 persen untuk barang-barang China dan bea masuk 25 persen untuk semua impor baja dan aluminium," kata Moody's dalam laporannya.

“Rencana pajak impor untuk mobil menjadi ancaman khusus bagi Jepang dan Korea Selatan,” katanya.

Moody's Analytics mengatakan, Asia Pasifik akan menjadi salah satu kawasan yang paling terdampak kebijakan tarif AS, mengingat ketergantungan kawasan tersebut pada perdagangan internasional.

“Ekonomi di Asia Timur Laut dan Asia Tenggara, khususnya, selamai mengandalkan ekspor sebagai pendorong utama pertumbuhan," kata Moody's.

"Ekspor dari kawasan ini berujung di AS," katanya.

“Dibandingkan dengan tren sebelum pandemi, ekspor barang dan jasa menyamai atau melampaui rata-rata global,” katanya.

Moody's Analytics berpendapat nilai tukar akan tetap menjadi sorotan karena Federal Reserve AS (Fed) memperlambat laju pelonggarannya tahun ini.

“Inflasi yang tinggi dan kebijakan tarif AS mengakibatkan penurunan suku bunga yang lebih sedikit dari yang diperkirakan sebelumnya.

“Hal ini memperkuat dolar AS dan melemahkan mata uang di seluruh Asia-Pasifik,” katanya.

Sementara itu, Moody's menambahkan ketidakpastian ekonomi global juga membebani arus investasi langsung asing (FDI).

“FDI global telah menyusut selama bertahun-tahun, terbebani oleh perubahan peraturan, gangguan era pandemi, inflasi, dan kondisi kredit yang lebih ketat," kata lembaga itu. (Wahyu Dwi Anggoro)

SHARE